Senin, 17 Januari 2011

Harga Batubara 2011 Diprediksi Capai USD 115/MT



Jakarta – TAMBANG. Memasuki 2011, harga batubara nampaknya sulit untuk dibendung menembus level USD 100/MT (metrikton). Mega Capital Indonesia bahkan memprediksi harga ”emas hitam” itu bakal naik 16%, mencapai level USD 115/MT pada 2011.

Sejumlah faktor diantaranya curah hujan yang masih cenderung abnormal, diikuti demand yang akan terus menguat, diyakini akan membuat prospek batubara bakal semakin kinclong di Tahun Kelinci.

Seperti diungkapkan Head of Research Mega Capital Indonesia, Danny Eugene, Jumat, 7 Januari 2011, setelah mencatatkan kenaikan sebesar 39% pada 2010 lalu, tahun ini ia memproyeksikan harga batubara kembali mencatatkan kenaikan sebesar 16%.

”Harga rata-rata batubara untuk 2011 kami perkirakan mencapai level USD 115/MT, lebih tinggi dibanding harga rata-rata 2010 yang mencapai USD 98.97/MT,” ujarnya.

Selama lima tahun terakhir, lanjut Danny, dari 2005-2010 harga rata-rata batubara mengalami kenaikan sebesar CAGR 15,7%. Yakni dari USD 47,67/MT pada 2005 ke level USD 98,97/MT.

”Untuk lima tahun mendatang, dari 2010-2015, kami proyeksikan harga rata rata batubara akan mencapai USD 126/MT atau naik dengan CAGR sebesar 5%,” tambahnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala mengatakan, pada 2011 demand batubara akan semakin menguat. Pemburu batubara Indonesia bukan hanya datang dari Asia, tetapi juga Eropa.

Namun, ujarnya, harus diwaspadai adanya sejumlah keterlambatan produksi, akibat curah hujan yang cenderung abnormal, yang akan berlanjut hingga tahun ini.

”Produsen batubara harus menambah peralatan untuk mengeringkan tambang, dan memaksimalkan produksi disaat kering (tidak hujan, red),” jelasnya.

Kondisi demand yang terus strong dan pelambatan produksi, serta penambahan biaya yang harus dilakukan kalangan produsen, menjadi faktor pengerek harga batubara di 2011.

Sejauh ini, konsumen terbesar batubara Indonesia masih dipegang Jepang di posisi pertama, dan India sudah berada di posisi kedua menggeser Korea Selatan.

Jumat, 14 Januari 2011

Classification of coal




Categories of coal
Coal classification
Coals come into various categories depending on where they were produced. Their colors range from light brown to dark black.

They can be classified into two main categories: High Grade and Low Grade coals.This refers to the Energy content of the coal, which is the amount of energy that will be released by the combustion of 1 kg of it.

* High Grade coals may release 6 000 to 9 000 kcal / kg, while low grade coals will release between 1 000 to 6 000 kcal / kg.
* High grade coals are darker, contain more carbon, less water and less minerals (cinders) than low grade coals.


Among High Grade coals, we can find :

* Graphite (pure carbon, used to make pencils, or as a lubricant)

* Anthracite (black and shiny, used for domestic heating)

* Bituminous coals (black or dark brown, used for power generation and in the steel manufacturing process, after being converted into coke)

And low grade coals are classified as :

* Sub-bituminous coals (dark brown, used mostly in power plants, and by various industries such as Chemistry, Cement production etc...)

* Lignite (brown, used in power plants)

* Peat (brown, similar to compact mud, used for domestic heating)


Coal is a readily combustible rock containing more than 50 percent by weight of carbonaceous material formed from compaction and indurations of variously altered plant remains similar to those in peat.

After a considerable amount of time, heat, and burial pressure, it is metamorphosed from peat to lignite. Lignite is considered to be "immature" coal at this stage of development because it is still somewhat light in color and it remains soft.

* Lignite increases in maturity by becoming darker and harder and is then classified as sub-bituminous coal. After a continuous process of burial and alteration, chemical and physical changes occur until the coal is classified as bituminous - dark and hard coal.
* Bituminous coal ignites easily and burns long with a relatively long flame. If improperly fired bituminous coal is characterized with excess smoke and soot.
* Anthracite coal is the last classification, the ultimate maturation. Anthracite coal is very hard and shiny.

1) Volatile matter - dry mineral matter free basis. In coal, those products, exclusive of moisture, given off as gas and vapor determined analytically.

Anthracite coal creates a steady and clean flame and is preferred for domestic heating. Furthermore it burn longer with more heat than the other types.
Typical Sulfur Content in Coal

* Anthracite Coal : 0.6 - 0.77 weight %
* Bituminous Coal : 0.7 - 4.0 weight %
* Lignite Coal : 0.4 weight %

Typical Moisture Content in Coal

* Anthracite Coal : 2.8 - 16.3 weight %
* Bituminous Coal : 2.2 - 15.9 weight %
* Lignite Coal : 39 weight %

Typical Fixed Carbon Content in Coal

* Anthracite Coal : 80.5 - 85.7 weight %
* Bituminous Coal : 44.9-78.2 weight %
* Lignite Coal : 31.4 weight %

Typical Bulk Density of Coal

* Anthracite Coal : 50 - 58 (lb/ft3), 800 - 929 (kg/m3)
* Bituminous Coal : 42 - 57 (lb/ft3), 673 - 913 (kg/m3)
* Lignite Coal : 40 - 54 (lb/ft3), 641 - 865 (kg/m3)

Typical Ash Content in Coal

* Anthracite Coal : 9.7 - 20.2 weight %
* Bituminous Coal : 3.3-11.7 weight %
* Lignite Coal : 4.2 weight %

Coal Quality :

The amount of impurities (ash and trace elements) in the coal determines its GRADE:
1. Ash Ash is the unburnable part of coal. It is most often sand and clay blown into the swamp or brought in by river or tides. Most commercial coals range from 3% to 9% ash. A train car carrying 100 tons of coal may be actually carrying 91 tons of burnable coal. With nine tons of clay and sand along for the ride. After burning, the ash is either removed from the combustion chamber or it goes up the smokestacks as fly ash. With 100 tons of coal lasting only 20 minutes in a power plant, the amount of ash accumulating is considerable.

2. Trace Elements A number of elements can affect either the combustion process or add to possible atmospheric pollution through emissions from the smoke stacks of power plants including sodium, sulfur, phosphorous, chlorides, nitrates, sulfates, and arsenic.

Sodium in the coal causes ash to precipitate on the boilers reducing the efficiency of the boiler and raising the cost of generating electricity. In one test, a lignite with 8% sodium fouled the boiler such that it had to be shut down for cleaning after only three days.

Sulfur in the coal is released as sulfur dioxide (S02) upon burning. If it is not scrubbed out of the emissions, it will combine with moisture in the air producing sulfuric acid (H2SO4) which makes up some 60 % of acid rain. (The other 40 % is nitric acid from automobiles and trucks.) Coals range from 0.5% to 8% or more sulfur.

Phosphorus in coal causes slagging in boilers reducing their efficiency. In addition, steel made with a phosphorous rich coal as a heat source tends to be brittle.

Chlorides, Nitrates, and Sulfates cause corrosion in the boilers.

Arsenic is present in most coals at the ppb (parts per billion) level. The Appalachian Basin Coal Field averages 13.3 ppb, while the Rocky Mountain coal is 1.8 ppb.

PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menargetkan produksi batubara mencapai 113 MT pada 2013



PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menargetkan produksi batubara mencapai 113 MT pada 2013.

Hal itu disampaikan manajemen BUMI dalam materi paparan publik investor summit 2010 yang disampaikan dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin (8/11). BUMI memiliki cadangan batu bara sebesar 2,9 miliar MT dan sumber daya batu bara sebesar 7,8 bilion metrik ton di luar cadangan. Saat ini lokasi untuk pasar batu bara terutama di Asia, Eropa dan Amerika Selatan.

Perseroan juga berencana untuk ekspansi produksi batu bara di KPC dan Arutmin mencapai 100 mtpa. Modal yang diperoleh US$1,1 juta dengan pencapaian pada triwulan empat 2012. Hasil yang diharapkan dari ekpansi ini peningkatan Ebitda rata-rata sebesar US$800 juta per tahun. Sumber pendanaan berasal dari arus kas internal, pembiayaan vendor, dan BOOT pembiayaan.

Selain itu, perseroan juga mengembangkan FBS dan Pendopo mencapai 13 mtpas dengan modal yang diperoleh sebesar US$150 juta dengan pencapaian pada triwulan empat 2012. Peningkatan Ebitda rata-rata sebesar US$100 juta per tahun. Sumber pendanaan berasal dari dana internal BUMI, sekitar US$1 juta yang dicadangkan melalui fasilitas pembayaran kembali yang ditangguhkan dari CIC.

Dalam pengembangan jangka pendek ini, perseroan juga investasi di Recapital untuk pengaturan pemasaran ekslusif pada suatu perusahaan batu bara. Pencapaian dalam waktu dekat dengan hasil yang diharapkan minimum tingkat pengembalian internal (IRR) sebesar 25%. Sumber pendanaan dari obligasi dan berbagai pinjaman bank lainnya.

Manajemen BUMI juga optimis dapat meraih produksi mencapai 64 juta MT pada 2010 meskipun kendati dalam situasi yang penuh tantangan. Selain itu, perseroan juga menargetkan produksi mencapai 31 juta ton pada semester kedua 2010 atau naik sebesar 24%. Sementara penjualan meningkat sebesar 19% dan inventori mencapai level aman sebesar 5 MT di paruh kedua 2010.

Pembiayaan utang perseroan sejak Agustus 2009 hingga saat ini mencapai US$3,175 juta. Sumber utang berasal dari BUMI-CFL (fasilitas CIC) sebesar US$1,900 juta, obligasi konversi sebesar US$375 juta, fasilitas CS sebesar US$300 juta, surat utang yang dijamin sebesar US$300 juta dan obligasi konversi sebesar US$300 juta. Perseroan mengklaim telah mengaplikasikan utang tersebut sebesar US$3,175 juta untuk investasi, akuisisi, pembayaran kembali utang, equity swap, capped call dan modal kerja.

Perseroan juga mengembangkan sektor tambang lainnya seperti seng, timah, tembaga, emas, bijih besi dan coal bed methane untuk meningkatkan portofolio perseroan.

Produksi Batubara Naik , Harga di Pasar Internasional 100 Dollar AS Per Ton




Saat ini kondisi industri pertambangan batu bara sedang bergairah. Hal ini ditandai dengan tingginya permintaan pasar dan melejitnya harga bahan tambang itu di pasar internasional. Kondisi tersebut memicu peningkatan produksi batu bara di Indonesia.

”Produksi batu bara nasional 2010 diperkirakan meningkat 20 juta dibandingkan dengan tahun lalu,” kata Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Bob Kamandanu di sela- sela seminar bertema ”Perkembangan Pertambangan Indonesia 2010” di Jakarta, Senin (24/5).

Berdasarkan catatan APBI, produksi batu bara nasional tahun 2009 sebesar 300 juta ton, termasuk dari pertambangan ilegal atau tidak terdaftar oleh pemerintah.

Angka ini diperoleh dari laporan para anggota asosiasi dan hasil pemantauan di lapangan. ”Dalam setahun, hasil produksi batu bara dari tambang ilegal sekitar 40 ton,” ujarnya.
Selama Januari-Februari 2010 tercatat produksi batu bara telah mencapai 59 juta ton dan sekitar 12 juta ton di antaranya merupakan hasil produksi dari penambangan ilegal atau kuasa pertambangan yang tidak terdaftar di pemerintah pusat.

Pihaknya, ujar Bob, memperkirakan produksi batu bara secara nasional tahun ini mencapai 320 juta ton. Ini berarti ada peningkatan 20 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Adaro, misalnya, produksinya naik 4 juta ton. ”Dari perusahaan-perusahaan batu bara skala besar saja kenaikan produksinya sudah 15 juta,” ujarnya.

Kondisi pasar bagus

Menurut Bob, peningkatan produksi ini didorong kondisi pasar yang sedang bagus. Di China dan India, misalnya, kebutuhan batu bara terus meningkat pesat. ”Batu bara diminati di mana-mana. Kami ingin memenuhi permintaan ekspor, jadi eksplorasi dan eksploitasi jalan terus,” ujarnya.

Tingginya permintaan itu memicu melejitnya harga batu bara. Saat ini harga batu bara di pasar internasional sekitar 100 dollar AS per ton. Padahal, tahun lalu harga batu bara hanya mencapai 70 dollar AS per ton. ”Tentu harga ini dipengaruhi suplai batu bara. Jika pasokan melimpah, harga akan turun,” ujar Bob.

Dengan kenaikan produksi itu, kewajiban pasok dalam negeri tahun ini diperkirakan mencapai 90 juta ton atau 30 persen dari total produksi batu bara.

Adapun penyerapan pasar domestik 60 juta ton. Jadi ada kelebihan 30 juta ton. ”Market sendiri yang berjalan mekanismenya,” katanya.

Sementara itu, Direktur Bina Usaha Pertambangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Aryanto menjelaskan, dalam menetapkan target produksi, pihaknya menghitung sesuai kemampuan produksi perusahaan tambang batu bara skala besar.

”Jadi, domestic market obligation batu bara akan terserap di pasar domestik,” katanya. Namun, bila ada kelebihan pasokan batu bara untuk domestik, kelebihan pasok itu akan diserahkan kepada mekanisme pasar. Jaminan pasokan batu bara untuk domestik diperlukan untuk mendukung kelistrikan dan industri dalam negeri.

Produksi batubara nasional pada akhir September 2010 mencapai 280 juta ton, atau 90% dari perkiraan produksi tahun ini.

Produksi batubara nasional pada akhir September 2010 mencapai 280 juta ton, atau 90% dari perkiraan produksi tahun ini.

Peningkatan produksi ini dipicu oleh melonjaknya permintaan yang menggiring produsen menggenjot produksinya tahun depan. Produksi batubara nasional kemungkinan akan mencapai 340 juta ton pada tahun 2011 dari tahun ini yang diperkirakan sebesar 310 juta ton.

Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Bob Kamandanu. Tahun ini, APBI mematok produksi batubara nasional sebesar 320 juta ton.

Produsen batubara nasional memang terus menggemukkan produksi batubaranya untuk memenuhi permintaan lokal maupun domestik. India akan melampaui Jepang sebagai negara pengimpor batubara terbesar di dunia dari Indonesia.

Tahun 2011 mendatang, Indonesia bakal menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia setelah Australia. Produksi tahun ini kemungkinan akan lebih rendah dari target semula karena tingginya curah hujan dan kuatnya permintaan batubara India. Hal ini berpotensi menggiring harga batubara menembus US$ 102 per ton pada akhir tahun ini dan rata-rata menyentuh US$ 90-100 per ton pada tahun 2011.

Produksi Batubara Nasional 2010 bisa capai 320 juta ton



JAKARTA--Produksi batu bara nasional pada 2010 ini diperkirakan mencapai 320 juta ton. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Bob Kamandanu, menyatakan tahun ini produksi batu bara nasional bisa mengalami kenaikan sekitar 6,67 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 300 juta ton.

Menurut Bob, kenaikan produksi ini seiring dengan meningkatnya permintaan batu bara dari Cina dan India. ''Jadi saat ini bisnis batu bara sedang bullish sehingga batu bara diminati di mana-mana, kekuatan paling dahsyat dari India dan Cina,'' katanya di sela-sela acara 'Mining Updates 2010' di Jakarta, Senin (24/5).

Menurut Bob, dari Cina saja permintaan batu bara mencapai 20 juta ton. Sementara itu, untuk produksi batu bara nasional sendiri, katanya, hingga Februari lalu sudah mencapai sekitar 59 juta ton. Jumlah sebanyak itu berasal dari PKP2B generasi 1, 2, dan 3 serta seluruh kuasa pertambangan (KP) yang terdaftar dan tidak terdaftar di pemerintah.

Dari jumlah tersebut, lanjut dia, sekitar 12,9 juta ton pada bulan Februari berasal dari KP-KP yang tidak terdaftar tersebut. ''Dalam setahun produksi KP ilegal itu bisa mencapai sekitar 40 juta ton,'' ungkapnya.

Bob menjelaskan, dari 320 juta ton produksi batu bara tahun ini, 30 persennya akan dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri. Namun, kata dia, biasanya dari DMO tersebut, konsumsi dalam negeri hanya mampu menyerapnya sekitar 60 juta ton sehingga ada sisa sekitar 30 juta ton.

Senin, 10 Januari 2011

Harga Semen Indonesia Paling Mahal

Jakarta - Data yang berhasil dikumpulkan KPPU menemukan harga semen di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan harga semen beberapa negara mana pun.

"Harga semen di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan beberapa negara di dunia. Padahal komponen harga semen sangat diperlukan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia," kata Direktur Komunikasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ahmad Junaidi di Jakarta.

Ahmad mencontohkan, harga Semen di Indonesia rata masih US$91 per ton. Sementara harga semen di Malaysia lebih murah sekitar US$75 per ton. Harga Semen di China rata-rata US$75 per ton.

Sementara itu, harga Semen di Pakistas juga lebih rendah sekitar US$89 per ton, dan India masih US$45 per ton.

Rabu, 05 Januari 2011

Pabrik Semen Lafarge Berproduksi Maret 2011

JAKARTA- Produsen semen asal Prancis, PT Lafarge Cement Indonesia, memastikan produksi perdana pabrik semen di Lhok Nga, Nanggroe Aceh Darussalam, bisa dimulai Maret 2011. Pabrik tersebut berkapasitas produksi semen 1,6 juta ton/tahun.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, setelah menginvestasikan dana sebesar USS 300 juta untuk membangun pabrik semen di Lhok Nga, Lafarge kini bersiap memproduksi semen. "Lafarge akan memulai produksinya Maret 2011 dan akan diresmikan Presiden SBY," ujar dia di Jakarta, Senin (29/11).
Menurut Hidayat, Lafarge akan memperkerjakan tenaga kerja penduduk lokal hingga 90%. Hal tersebut juga menunjukkan bah-wa kepercayaan investor asing di Aceh telah pulih pascatsunami tahun 2004 dan diharapkan memacu investor lain masuk ke Indonesia.
Lafarge kini menguasai sekitar 99% saham PT Semen Andalas Indonesia. Perusahaan ini mulai membangun kembali pabrik semen dan pembangkit listrik sebagai pendukungnya di Lhok Nga awal 2007,yang sempat hancur terkena tsunami. Semula, pabrik semen tersebut diharapkan bisa selesai dibangun semester II- 2008.
Lafarge melalui PT Semen Andalas Indonesia juga telah mengoperasikan terminal pengepakan semen dan pelabuhan di Lhok Nga. Terminal baru ini dilengkapi dengan dua mesin pengepakan system rotaryyang dapat memproduksi hingga 3 ribu ton semen/hari.
Sementara itu, lanjut Hidayat terkait rencana produsen semen asal Thailand, Siam Cement Group, masuk berinvestasi di Indonesia belum ada kepastian. "Manajemennya masih berhati-hati menentukan, termasuk memperhitungkan peluang dan kompetitornya di Indonesia," tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Urip Timuryono berpendapat, rencana Siam Cement berinvestasi di Tanah Air harus memperhitungkan serapan di dalam negeri. Pemerintah juga diyakini tidak akan suka jika Siam Cement pada akhirnya hanya membangun pabrik berkapasitas produksi kecil dan kemudian mengimpor semen dari pabriknya di Thailand ke Indonesia.
"Sementara itu, industri yang telah eksis juga sudah mampu memenuhi kebutuhan1 konsumsi semen domestik," kata dia.
Kapasitas dan Ekspor
Urip menambahkan, rencana produksi Lafarge akan menambah kapasitas terpasang industri semen nasional tahun 2011 menjadi sekitar 46 juta ton. "Konsumsi semen tahun 2011 diperkirakan naik 6-10% menjadi 42-46 jt ton dari 2010 mencapai 40 juta ton," katanya.
Sementara itu, lanjut dia, tahun 2012-2013, kapasitas terpasang industri semen nasional akan bertambah lagi 6,8 juta ton. Hal ini menyusul adanya investasi baru tiga produsen semen, yakni PT Semen Gresik Indonesia Tbk, PT Semen Tonasa, dan PT Holcim Indonesia Tbk.
Menurut dia, produsen semen nasional saat ini terus aktif ekspansi guna menambah kapasitas walaupun tidak bisa memacu produksi sampai 100% dari kapasitas yang ada. "Utilisasi biasanya maksimal 90%, sedangkan sisanya untuk mengantisipasi jika ada permintaan tambahan," jelas Urip, (eme)

Minggu, 02 Januari 2011

Cuaca Ganggu Bisnis Semen

Jakarta Kompas - Bukan hanya sektor pertanian yang harus menghadapi dan mengantisipasi perubahan iklim ekstrem. Nyatanya, industri semen pun menghadapi persoalan dengan cuaca dan telah terbukti mengganggu produksi dan penjualan semen.

Persoalan cuaca yang dihadapi industri semen itu dikemukakan secara terpisah oleh Direktur Utama PT Semen Gresik Dwi Soetjipto dan Direktur Pemasaran PT Semen Bosowa Maros Subhan Aksa, di Jakarta, Minggu (2/1).

”Pertumbuhan penjualan selama semester kedua 2010 kurang menggembirakan karena cuaca dan permasalahan-permasalahan yang masih ada berkaitan dengan pembangunan proyek-proyek infrastruktur,” tutur Dwi Soetjipto.

Subhan Aksa menjelaskan, Bosowa Semen Maros di Sulawesi Selatan juga menghadapi persoalan cuaca ini. Sebenarnya, waktu yang tepat untuk mengoptimalkan produksi pabrik adalah saat memasuki musim kemarau karena penjualan cukup bagus. Itu karena proyek-proyek infrastruktur dan proyek-proyek properti bergulir.

”Persoalan kami, listrik tidak mencukupi. Kalau musim kemarau, PLN yang sebagian pembangkitnya menggunakan tenaga air menghadapi masalah ketidakcukupan debit air waduk untuk pembangkitan. Sebaliknya, musim hujan merupakan waktu yang baik untuk menggenjot produksi karena listrik melimpah memenuhi kebutuhan. Persoalannya, penjualan tertahan karena proyek berjalan lambat atau terhenti karena cuaca,” tuturnya.

Meski demikian, baik Dwi maupun Subhan optimistis permintaan semen tahun ini bakal membaik karena berjalannya proyek infrastruktur. Oleh karena itu, manajemen Semen Gresik dan Semen Bosowa tetap akan meningkatkan produksinya.

”Kami yakin tahun 2011 permintaan masih baik dengan perkiraan pertumbuhan 6-7 persen,” kata Dwi.

Tahun 2010, PT Semen Gresik memproduksi 8,86 juta ton semen. Dua anak usahanya, yakni PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa, masing-masing memproduksi 5,68 juta ton semen dan 3,65 juta ton sehingga keseluruhan produksi Semen Gresik Grup mencapai 18,19 juta ton.

Sementara penjualan PT Semen Gresik tahun lalu mencapai 9 juta ton, Semen Padang 5,4 juta ton, dan Semen Tonasa 3,6 juta ton sehingga total penjualan grup ini mencapai 18 juta ton.

Tahun 2011, menurut Dwi, pihaknya memprogramkan peningkatan produksi sekitar 9 persen, meningkatkan efisiensi untuk mengatasi ancaman kenaikan harga bahan bakar dan transportasi, menyelesikan pembangunan pabrik semen baru di Tuban dan Tonasa, serta melanjutkan konsolidasi korporasi.

Bosowa

Menurut Subhan, produksi Semen Bosowa Maros mencapai 100,59 persen terhadap target yang ditetapkan. Produksi semen Bosowa Maros mencapai 1,81 juta ton, sedangkan pengeluaran semen dari pabrik mencapai 1,78 juta ton.

”Distribusi tidak setinggi produksi karena kendala hujan yang agak menghambat dan penyerapan dari pembangunan proyek pemerintah yang lemah berefek ke permintaan semen,” katanya. Bosowa Semen juga memiliki unit produksi di Batam dengan kapasitas sekitar 500.000 ton semen.

Pada tahun ini, pihaknya akan melakukan efisiensi produksi dan menargetkan dua juta ton produksi semen. Sementara unit produksi di Batam akan ditingkatkan menjadi 700.000-800.000 ton. ”Jadi, target total kedua pabrik 2,7-2,8 juta ton untuk 2011. Peningkatan produksi hanya dengan penambahan material campuran yang memperbaiki kualitas, jadi tidak terlalu besar investasinya,” kata dia. (DIS)