Runtuhnya jembatan Kukar membuat pemerintah kalang kabut melakukan berbagai investigasi mempelajari apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya. Berbagai kalangan akademisi maupun praktisi mangambil bagian untuk melakukan penelitian yang tentunya akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sekitar 6 bulan yang lalu saya bersama dengan tim dari Sika sempat diundang oleh Dinas pekerjaan Umum untuk memberikan presentasi di hadapan kurang lebih 80 staff DPU Kukar mengenai teknologi konstruksi beton. Dalam pertemuan tersebut saya sedikit menyinggung pentingnya design service life ( rencana masa pakai ) suatu bangunan konstruksi. Karena ketika kita tidak concern terhadap masalah ini , maka akan berakibat fatal bagi bangunan tersebut. Umur bangunan konstruksi khususnya jembatan yang baik di Indonesia adalah minimal 50 tahun.Inipun masih jauh bila dibaningkan dengn rata-rata umur bangunan konstruksi di Jepang yang bisa bertahan lebih dari 100 tahun. Banyak aspek yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pembangunan konstruksi mulai dari tahap perencanaan , pelaksanaan hingga pemeliharaan , baik itu pemilihan material yang digunakan maupun penentuan metode pelaksanaan / perbaikan harus direncanakan secara matang dan mendapat pengawasan ketat dari instansi pemilik (owner). Untuk menunjang hal ini tentunya ada biaya yang dibutuhkan yang tidak sedikit, namun akan sangat berarti bagi kelangsungan bangunan tresebut yang secara tidak langsung berdampak kepada generasi kita yang akan datang yang juga masih bisa merasakan karya pendahulunya.
Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan audit teknologi Jembatan Tenggarong yang runtuh. Tim akan mendata dan mengambil sampling bagian konstruksi terkait runtuhnya jembatan untuk keperluan audit teknologi.
"Karena ini dianggap suatu bencana kegagalan teknologi maka kita akan mengumpulkan data dari reruntuhan jembatan. Data tersebut akan memberikan hasil untuk merekonstruksi, melihat dengan teliti ada apa sebenarnya dengan jembatan ini. Mengapa jembatan ini runtuh, tentunya dari sisi teknologi (struktur). Hasil yang didapat bisa dijadikan sebagai bahan rekomendasi kepada instansi terkait," kata Dr. Ir. Wahyu W Pandoe. M.Sc, Ketua Tim Investigasi Bawah Air BPPT.
Selain tim investigasi bawah air yang telah melakukan scanning (pemetaan) juga terdapat tim atas air (bagian struktur) yang sedang melakukan penelitian existing condition dari jembatan. Tim investigasi bawah air mengidentifikasi objek-objek dibawah air sungai Mahakam dengan menggunakan peralatan side scan sonar, multibeam echosounder serta alat pendukung lainnya seperti alat pengukur arus dan GPS.
Existing condition bawah air juga tidak luput dari pemeriksaan. Data yang ada akan dipelajari dan dikombinasikan dan itu hanya membutuhkan waktu yang tidak lama untuk menganalisanya. Selanjutnya, hasil kombinasi akan dikirim ke pusat dan tim kami di kantor pusat akan memberikan kesimpulan apa yang sebenarnya terjadi dengan Jembatan Kartanegara.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menggandeng sejumlah tim ahli konstruksi independen untuk menelusuri penyebab jembatan Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, yang ambruk pada Sabtu (26/11/2011) pekan lalu. Hasil penyelidikan itu akan disampaikan kepada Polda Kaltim sebagai penanggungjawab hukum lokasi kejadian tersebut.
Demikian disampaikan Dirjen Bina Marga Kementerian PU, Djoko Mujanto, di kantornya, Jakarta, Senin (28/11/2011).
Karena masih diselidiki tim, Djoko mengelak memberitahukan dugaan sementara penyebab ambruknya jembatan tersebut.
"Kenapa ini terjadi? Saat ini sedang diteliti oleh tim teknis yang independen. Karena ini punya Kabupaten Kutai Kartanegara, jadi ini independen. Kami tidak punya interest. Tim dari Bina Marga, Bimtek, Litbang PU, kontraktor dan konsultan yang dulu, sekarang ada di lapangan, juga beberapa (ahli) universitas, dan akan menyusul terus, karena mereka banyak yang meminta izin kepada kami untuk bergabung. Kami mempersilakan, karena koordinasi dengan Kapolda Kaltim. Tidak masalah sepanjang itu untuk meningkatkan akurasi yang akan ditemukan. Sampai saat ini, kami belum dapat laporannya," papar Djoko.
Investigasi bersama ini juga melibatkan perusahaan kontraktor pembangunan jembatan tersebut, yakni PT Hutama Karya.
"Dalam penyelidikan tadi malam sudah ada koordinasi antara Polda Kaltim, Bareskrim Jakarta. Tentu saja ada tim dari Provinsi dan Kabupaten, termasuk tim dari PU, Bina Marga, maupun dari beberapa universitas secara volunteers dari ITB, ITS, Undip juga termasuk kontraktor dan konsultan yang dulu mengerjakan, itu sudah ada di lapangan," ujar Djoko.
Menurut Djoko, tim dari PU bersama tim independen setidaknya memerlukan waktu satu minggu untuk mencari tahu penyebab ambruk jembatan berjuluk "Golden Gate Kalimantan tersebut.
"Yang terpenting sekarang tindakan-tindakan ke depan. Dalam waktu 3x24 jam, kami sepakati evakuasi korban," imbuhnya.
Djoko menjelaskan, jembatan naas tersebut dibangun oleh PT Hutama Karya sejak 1995 hingga 2001 atas pembiayaan bersama. Namun, kepemilikan dan perawatan jembatan itu adalah tanggung jawab pemerintah Kabupaten Kukar.
"Waktu itu belum ada pembagian otonomi daerah. Jadi, pembiayaannya sharing, bersama-sama. Dana pusat waktu itu, pakai dana P23, kemudian dana dari pemprov juga kabupaten. Ketiganya ini bersama-sama. Tapi, pemiliknya, karena berada di jalan kabupaten, maka pemiliknya adalah Kabupaten Kutai Kartanegara," ujar Djoko.
Kamis, 08 Desember 2011
Cement Grinding Aid (CGA)
The introduction of Cement Grinding Aid (CGA), started more than 50 years ago, has as ultimate task the prevention of
cement particle re-agglomeration during and after milling process. What makes CGA application
even more desirable is their significant effects on mechanical properties of cement, whose particle
size distribution results narrower and shifted towards shorter diameters.
Their influence on cement chemico-physical behaviour has been attributed to the reduction of
surface energy forces generated on cement grains during comminution.
CGA are constituted of polar organic compounds such as alkanolamines, which arrange their dipoles
so that they saturate the charges on the newly formed particle surface, reducing re-agglomeration.
Nevertheless, this kind of additives results efficient even at very low dosage (< 500 ppm), which
cannot give reason of a complete covering on cement particle surface, that is for a complete
screening of the free charges. Moreover, it cannot give reason of their effects on subsequent
mechanical properties of cement paste.
Various research groups followed different approaches to go further in the interpretation of the CGA
action. Some authors have been involved in the analysis of alkanolamines and glycols based CGA,
extracted from dry cement by different technics. Besides the intrinsic difficulty in the extraction of
this polar compounds, once they interact with cement, it has been hypothesized either an
irreversible physic adsorbtion or a chemical interaction with cement salts, favoured by high
temperatures (100-120°C) reached inside the mill during grinding process.
Much more interest has been shown on the influence of these alkanolamines or glycols as
admixtures on cement hydration and strength development. It is well known, for example, and
well accepted that alkanolamines (especially TriIsoPropanolAmine - TIPA) interact preferentially
with iron based phases of cement . In the same way TriEthanolAmine (TEA) effect on cement
setting time is still debated.
cement particle re-agglomeration during and after milling process. What makes CGA application
even more desirable is their significant effects on mechanical properties of cement, whose particle
size distribution results narrower and shifted towards shorter diameters.
Their influence on cement chemico-physical behaviour has been attributed to the reduction of
surface energy forces generated on cement grains during comminution.
CGA are constituted of polar organic compounds such as alkanolamines, which arrange their dipoles
so that they saturate the charges on the newly formed particle surface, reducing re-agglomeration.
Nevertheless, this kind of additives results efficient even at very low dosage (< 500 ppm), which
cannot give reason of a complete covering on cement particle surface, that is for a complete
screening of the free charges. Moreover, it cannot give reason of their effects on subsequent
mechanical properties of cement paste.
Various research groups followed different approaches to go further in the interpretation of the CGA
action. Some authors have been involved in the analysis of alkanolamines and glycols based CGA,
extracted from dry cement by different technics. Besides the intrinsic difficulty in the extraction of
this polar compounds, once they interact with cement, it has been hypothesized either an
irreversible physic adsorbtion or a chemical interaction with cement salts, favoured by high
temperatures (100-120°C) reached inside the mill during grinding process.
Much more interest has been shown on the influence of these alkanolamines or glycols as
admixtures on cement hydration and strength development. It is well known, for example, and
well accepted that alkanolamines (especially TriIsoPropanolAmine - TIPA) interact preferentially
with iron based phases of cement . In the same way TriEthanolAmine (TEA) effect on cement
setting time is still debated.
Recently technology of CGA has been developed. We have not only Amine based , but also Glycol , Polymer Glycol and Polymer Glycol Ester as latest technology .
There are some CGA's producers in the world ,Sika is one of it.
SikaGrind®-870 is a chloride free liquid cement grinding aid with performance
enhancing properties.
SikaGrind®-870 has been specifically designed to increase the output of cement
grinding plants and obtain improved early strength development for cements with
high amount of clinker replacements
SikaGrind®-870 is a dispersant with the following characteristics:
Neutralisation of electrical charges on the surface of the cement particles
Separation of the cement particles
SikaGrind®-870 provides the following advantages in cement production:
Enhanced grinding properties of the cement mill due to less accumulation of
material on grinding balls and mill-liners
Higher separator efficiency due to improved cement particle dispersion
Reduced relative power consumption per ton of cement due to increased
output of the grinding system (tons per hour)
Easier achievement of the desired cement fineness (Blaine, particle fraction
> 32μm, granulometry) due to reduced re-agglomeration of the sufficiently
ground cement particles
Minimized problems with “plugging” due to improved powder flow
characteristics
SikaGrind®-870 gives the following advantages to the finished cement:
Reduced quantity of “over-milled” particles in the cement granulometry
Easier discharge of the silos
Increased early strengths after 1 and 2 days
Economic cement design with clinker replacements
Typical dosage rates of SikaGrind®-870 are between 0.2 -0.5 kg per tonne of
cement (0.02% - 0.05% of total weight = cement clinker + additions). The optimum
dosage to achieve the desired characteristics shall be determined in Plant trials.
Influencing factors are e.g. the properties of clinker source, type of cement and
other plant variables.
For consistent results, SikaGrind®-870 must be accurately dispensed
Langganan:
Postingan (Atom)