Produsen semen PT Semen Tonasa menargetkan pada 2011 sudah bisa memproduksi semen dengan kapasitas 6 juta ton per tahun. Saat ini kapasitas produksi dari pabrik Tonasa II, III, dan IV total 3,480 juta ton per tahun.
Kini sudah dimulai pembangunan pabrik semen Tonasa V berkapasitas 2,5 juta ton per tahun. Bila pabrik Tonasa V sudah beroperasi maka kapasitas produksi mencapai lebih dari 6 juta ton per tahun dengan power plant 120 megawatt (MW).
Direktur PT Semen Tonasa, Sattar Taba, Jumat (23/10), kepada wartawan yang mengikuti media visit di PT Semen Tonasa menyatakan, selain pembangunan pabrik V, PT Semen Tonasa juga menyiapkan pembangunan power plant dengan kapasitas 2 x 35 MW. Sementara ini power plant yang tersedia berkapasitas 50 MW.
Saat ini PT Semen Tonasa menguasai market share 47 persen di wilayah Indonesia timur dengan pertumbuhan 7-8 persen. Produksi sudah terserap pasar, terutama untuk PLTA, pembangunan jalan cor beton dan dam air. Khusus proyek jalan cor beton PT Semen Tonasa memasok semen untuk pembangunan jalan dari Maros hingga Pare-pare sekitar 200 kilometer.
"Kami akan ekspor lagi ketika pasar dalam negeri lesu. Tapi selama ini produksi sudah terserap habis untuk pasar domestik dan konstan. Pasarnya sudah ada termasuk ke Timor Leste 10.000 ton per bulan dengan uang kontan," tuturnya.
Omzet PT Semen Tonasa mencapai Rp 2,3 triliun per tahun diharapkan meningkat menjadi Rp 5 triliun per tahun. Wilayah pemasaran meliputi 13 provinsi di kawasan Indonesia timur tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta.
Sebelumnya, semen Tonasa juga diekspor ke Banglades, Singapura, Vietnam, Nigeria, Timor Leste, Hongkong, Taiwan, Malaysia, Kamboja, dan Afrika. Keuntungan produksi di PT Semen Tonasa adalah bahan baku masih melimpah, di antaranya 1.351,6 juta ton batu kapur dan 152,4 juta ton tanah liat.
"Perkiraan persediaan bahan baku itu bisa dimanfaatkan hingga lebih dari 100 tahun," kata Sattar.
Agar efisien dan lebih menguntungkan, dilakukan optimalisasi margin dan penguasaan market share oleh manajemen PT Tonasa. Biaya bahan baku bisa murah karena tersedia di sekitar lokasi pabrik. Selain itu, dilakukan perluasan kapasitas dan penambahan produksi serta peningkatan sistem manajemen. Upaya lain ditempuh juga dengan penggunaan kapal curah yang menekan biaya hingga 50 persen dibandingkan menggunakan kapal kargo.
"Dengan kapal curah bisa tiga rit per bulan, sementara kapal kargo hanya satu rit," papar Sattar. Selain perluasan produksi, packing plant juga dibangun di Papua dengan kapasitas 300.000 ton per tahun. Packing plant tersedia juga di Palu, Ambon, Bali, Bitung, Samarinda, Makassar, Banjarmasin, dan Bringkassi.
Minggu, 12 Desember 2010
Indocement Revisi Peningkatan Kapasitas Jadi 2 Juta Ton
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) merevisi penambahan kapasitas produksi dari sebelumnya 1,5 juta ton menjadi dua juta ton. Ekspansi yang menelan investasi sekitar USD70 juta tersebut, akan dilakukan di pabrik Citeureup, Bogor.
“Kita akan perbesar pabrik untuk menambah pasokan,” kata Direktur Keuangan Indocement Christian Kartawijaya kepada Seputar Indonesia (SI) di Jakarta kemarin.
Dia mengatakan, tambahan kapasitas produksi tersebut terdiri dari pabrik penggilingan semen (cement mill) sebesar 1,5 juta ton dan optimalisasi pabrik yang ada (existing). Perseroan berencana memulai langkah ekspansi tersebut pada semester dua tahun ini, dan diharapkan dapat beroperasi di 2012. “Dengan dua langkah ini, kami akan dapatkan tambahan kapasitas produksi sebesar 2 juta ton,” kata Christian.
Perseroan juga memastikan pembangunan pabrik penggilingan dan upaya optimalisasi tersebut akan dilakukan di pabrik Citeureup, Bogor. Sebelumnya, perseroan memiliki dua opsi yakni pabrik Citerep, dan Tarjun, Kalimantan Selatan. “Kita akan lakukan ekspansi di pabrik Citeureup,” kata Christian.
Langkah ekspansi tersebut diperkirakan menelan investasi sekitar USD70 juta. Saat ini, perseroan tengah mengkaji sumber pendanaannya, sehingga belum bisa dijelaskan opsi yang dipilih, apakah pinjaman perbankan atau instrumen lainnya. “Besaran investasinya masih kita lakukan studi, gambarannya tiap satu ton membutuhkan investasi rata-rata USD35,” kata Christian.
Namun dia mengungkapkan, tahap awal pembangunan pabrik yang dimulai pada akhir tahun ini akan didanai menggunakan kas internal. “Kas kami cukup banyak. Untuk persiapan awal, saya kira bisa dari kas internal,” katanya.
Jika ekspansi tersebut terealisasi, maka kapasitas produksi perseroan dalam dua tahun ke depan menjadi 20,1 juta ton per tahun, atau meningkat dari 2010 yang ditargetkan sebesar 18,6 juta ton. Kapasitas produksi tahun ini juga mengalami kenaikan sebesar 1,5 juta ton dibanding tahun sebelumnya sebesar 17,1 juta ton. Tambahan kapasitas tersebut menyusul beroperasinya dua pabrik semen baru perseroan di Palimanan, Cirebon pada tahun ini.
Menurut Christian, langkah ekspansi dilakukan guna mengantisipasi naiknya permintaan semen domestik. Hal ini seiring menggeliatnya sektor konstruksi dan infrastruktur seperti yang tengah dicanangkan pemerintah.
Hingga akhir 2010, permintaan semen nasional diperkirakan tumbuh sekira 6-7 persen menjadi 40,7 juta ton, dari realisasi tahun 2009 sebesar 38,4 juta ton. Adapun hingga paruh pertama tahun ini, permintaan semen nasional tumbuh 11,5 persen, atau naik signifikan dibanding semester I-2009 yang tumbuh negatif delapan persen. “Tahun lalu memang anjlok akibat krisis global,” kata Christian.
Laba bersih Indocement pada semester I-2010 tercatat Rp1,64 triliun, atau mengalami peningkatan 39,9% dari periode yang sama tahun lalu Rp1,17 triliun. Peningkatan laba dipicu naiknya pendapatan bersih sebesar 11,8 persen menjadi Rp5,36 triliun dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp4,79 triliun.
“Kita akan perbesar pabrik untuk menambah pasokan,” kata Direktur Keuangan Indocement Christian Kartawijaya kepada Seputar Indonesia (SI) di Jakarta kemarin.
Dia mengatakan, tambahan kapasitas produksi tersebut terdiri dari pabrik penggilingan semen (cement mill) sebesar 1,5 juta ton dan optimalisasi pabrik yang ada (existing). Perseroan berencana memulai langkah ekspansi tersebut pada semester dua tahun ini, dan diharapkan dapat beroperasi di 2012. “Dengan dua langkah ini, kami akan dapatkan tambahan kapasitas produksi sebesar 2 juta ton,” kata Christian.
Perseroan juga memastikan pembangunan pabrik penggilingan dan upaya optimalisasi tersebut akan dilakukan di pabrik Citeureup, Bogor. Sebelumnya, perseroan memiliki dua opsi yakni pabrik Citerep, dan Tarjun, Kalimantan Selatan. “Kita akan lakukan ekspansi di pabrik Citeureup,” kata Christian.
Langkah ekspansi tersebut diperkirakan menelan investasi sekitar USD70 juta. Saat ini, perseroan tengah mengkaji sumber pendanaannya, sehingga belum bisa dijelaskan opsi yang dipilih, apakah pinjaman perbankan atau instrumen lainnya. “Besaran investasinya masih kita lakukan studi, gambarannya tiap satu ton membutuhkan investasi rata-rata USD35,” kata Christian.
Namun dia mengungkapkan, tahap awal pembangunan pabrik yang dimulai pada akhir tahun ini akan didanai menggunakan kas internal. “Kas kami cukup banyak. Untuk persiapan awal, saya kira bisa dari kas internal,” katanya.
Jika ekspansi tersebut terealisasi, maka kapasitas produksi perseroan dalam dua tahun ke depan menjadi 20,1 juta ton per tahun, atau meningkat dari 2010 yang ditargetkan sebesar 18,6 juta ton. Kapasitas produksi tahun ini juga mengalami kenaikan sebesar 1,5 juta ton dibanding tahun sebelumnya sebesar 17,1 juta ton. Tambahan kapasitas tersebut menyusul beroperasinya dua pabrik semen baru perseroan di Palimanan, Cirebon pada tahun ini.
Menurut Christian, langkah ekspansi dilakukan guna mengantisipasi naiknya permintaan semen domestik. Hal ini seiring menggeliatnya sektor konstruksi dan infrastruktur seperti yang tengah dicanangkan pemerintah.
Hingga akhir 2010, permintaan semen nasional diperkirakan tumbuh sekira 6-7 persen menjadi 40,7 juta ton, dari realisasi tahun 2009 sebesar 38,4 juta ton. Adapun hingga paruh pertama tahun ini, permintaan semen nasional tumbuh 11,5 persen, atau naik signifikan dibanding semester I-2009 yang tumbuh negatif delapan persen. “Tahun lalu memang anjlok akibat krisis global,” kata Christian.
Laba bersih Indocement pada semester I-2010 tercatat Rp1,64 triliun, atau mengalami peningkatan 39,9% dari periode yang sama tahun lalu Rp1,17 triliun. Peningkatan laba dipicu naiknya pendapatan bersih sebesar 11,8 persen menjadi Rp5,36 triliun dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp4,79 triliun.
Jumat, 10 Desember 2010
Holcim Indonesia to Start Constructing Tuban Cement Plant in 2011
PT Holcim Indonesia Tbk said that it will start constructing the cement plant in Tuban, East Java in 2011 with a total capacity of up to 1.6 million tons per year, Kontan daily reported. The new cement plant is expected to start commercial operation in 2013
Manager Communication of Holcim, Budi Primawan, said the company will seek bank loans of around US$ 400 million to finance the project. Holcim has delayed the cement plant project for about two years.
Budi said Holcim is negotiating with some local and foreign banks as well as a number of financing companies to finance the project. However, he did not disclose the potential banks..
At present, Holcim Indonesia has two cement factories in Narogong, West Java, and in Cilacap, Central Java. Both factories have total production of 8.3 million tons per year. Holcim secures 14% share of total national cement consumption. Of its cement production, only 10% are supplied to export market.
Manager Communication of Holcim, Budi Primawan, said the company will seek bank loans of around US$ 400 million to finance the project. Holcim has delayed the cement plant project for about two years.
Budi said Holcim is negotiating with some local and foreign banks as well as a number of financing companies to finance the project. However, he did not disclose the potential banks..
At present, Holcim Indonesia has two cement factories in Narogong, West Java, and in Cilacap, Central Java. Both factories have total production of 8.3 million tons per year. Holcim secures 14% share of total national cement consumption. Of its cement production, only 10% are supplied to export market.
Kamis, 09 Desember 2010
Produsen Semen Perancis Bangun Pabrik di Aceh
Produsen semen asal Perancis Lafarge akan mengembangkan bisnisnya di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Rencana tersebut direalisasikan dengan membangun pabrik di Lhok Nga, dengan kapasitas produksi sebanyak 1,6 juta ton.
“Lafarge akan mulai melakukan produksi perdana pada bulan Maret 2011. Peresmian pabriknya langsung dilakukan Presiden. Ini menunjukkan kepercayaan investasi asing yang pulih di Aceh pasca Tsunami 2004. Saya sampaikan ke Presiden, dulu sekitar 90% tenaga kerja Lafarge adalah penduduk lokal Aceh. Sekarang juga,” kata Menteri Perindustrian MS Hidayat di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, pabrik dengan kapasitas 1,6 juta ton ini akan mengkonsumsi klinker sebanyak 1,2 juta ton. Pembangunan pabrik ini bakal menelan investasi sebesar US$ 300 juta.
Menperin berharap investasi ini akan memacu komitmen investor global untuk menanamkan investasi di Indonesia. Saat ini Lafarge menguasai sekitar 88% saham atas PT Semen Andalas Indonesia.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Urip Timuryono menuturkan, realisasi pembangunan pabrik semen Lafarge akan menambah kapasitas terpasang industri semen nasional di tahun 2011 sebesar 6-10%. Dari tahun ini 40 juta ton menjadi menjadi 42 juta ton .
Sepanjang periode tahun 2012-2013, kapasitas terpasang industri semen nasional akan bertambah 6,8 juta ton menyusul dilakukan investasi 3 produsen semen yakni, PT Semen Gresik Indonesia, PT Semen Tonasa, dan PT Holcim Indonesia.
“Produsen semen cenderung aktif melakukan ekspansi menyusul pertumbuhan konsumsi. Sebab, industri semen tidak bisa memacu produksi sampai 100% utilisasi. Maksimal utilisasinya mencapai 90%. Kalau utilisasi mencapai 100%, ada lonjakan order, jadinya tidak bisa memenuhi. Sehingga, kalau utilisasi sudah mencapai 90%, mereka akan ekspansi bangun pabrik lagi,” jelas Urip.
Sementara itu, terkait rencana produsen semen asal Thailand Siam Cement Group masuk ke Indonesia, Hidayat mengungkapkan, belum ada kepastian. Menurutnya, manajemen Siam Cement Group masih sangat berhati-hati untuk melakukan investasi. “Mereka memperhitungkan peluang dan kompetitornya di Indonesia. Masih sensitif,” ujar Hidayat.
Menanggapi rencana investasi Thailand, Menperin menyatakan agar Siam Cement memperhitungkan serapan dalam negeri sebelum melakukan investasi. Pasalnya, untuk konsumsi lokal, industri dalam negeri sudah mampu memenuhi kebutuhan.
Dalam kesempatan itu, Urip juga mengungkap, walau saat ini banyak terjadi ekspansi pabrik semen karena pasar yang terus tumbuh, namun tidak akan memacu pertumbuhan ekspor semen. Pasalnya tekstur semen yang bulky (gempal) membuat resiko ekspor lebih tinggi.
Selain itu biaya transportasi juga akan menjadi lebih besar, sehingga akan mengerus margin produsen semen. “Jadi, biasanya ekspor itu kalau kelebihan produksi yang tidak terserap konsumsi domestik,” tandas Urip.
MEDAN PT Lafarge Cement Indonesia menginvestasikan US$300 juta untuk pengoperasian kembali pabrik semen di Nangroe Aceh Darussalam setelah pabrik itu hancur akibat tsunami pada Desember 2004. "Tahun ini produksi semen di pabrik Aceh itu ditargetkan mencapai 1,6 juta ton atau naik 20% dari produksi sebelum tsunami yang hanya 1,2 juta ton," kata Presiden Direktur Lafarge Cement Indonesia Marc Jarrault di sela-sela penyampaian rencana peringatan bulan keselamatan kerja, Senin.
Dia mengatakan produksi semen dimulai Juni setelah tsunami yang menelan korban sekitar 30% karyawan dan menghancurkan pabrik tersebut,
"Tahun ini produksi semen di pabrik Aceh itu ditargetkan mencapai 1,6 juta ton atau naik 20% dari produksi sebelum tsunami yang hanya 1,2 juta ton," kata Presiden Direktur Lafarge Cement Indonesia Marc Jarrault di sela-sela penyampaian rencana peringatan bulan keselamatan kerja, Senin.
“Lafarge akan mulai melakukan produksi perdana pada bulan Maret 2011. Peresmian pabriknya langsung dilakukan Presiden. Ini menunjukkan kepercayaan investasi asing yang pulih di Aceh pasca Tsunami 2004. Saya sampaikan ke Presiden, dulu sekitar 90% tenaga kerja Lafarge adalah penduduk lokal Aceh. Sekarang juga,” kata Menteri Perindustrian MS Hidayat di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, pabrik dengan kapasitas 1,6 juta ton ini akan mengkonsumsi klinker sebanyak 1,2 juta ton. Pembangunan pabrik ini bakal menelan investasi sebesar US$ 300 juta.
Menperin berharap investasi ini akan memacu komitmen investor global untuk menanamkan investasi di Indonesia. Saat ini Lafarge menguasai sekitar 88% saham atas PT Semen Andalas Indonesia.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Urip Timuryono menuturkan, realisasi pembangunan pabrik semen Lafarge akan menambah kapasitas terpasang industri semen nasional di tahun 2011 sebesar 6-10%. Dari tahun ini 40 juta ton menjadi menjadi 42 juta ton .
Sepanjang periode tahun 2012-2013, kapasitas terpasang industri semen nasional akan bertambah 6,8 juta ton menyusul dilakukan investasi 3 produsen semen yakni, PT Semen Gresik Indonesia, PT Semen Tonasa, dan PT Holcim Indonesia.
“Produsen semen cenderung aktif melakukan ekspansi menyusul pertumbuhan konsumsi. Sebab, industri semen tidak bisa memacu produksi sampai 100% utilisasi. Maksimal utilisasinya mencapai 90%. Kalau utilisasi mencapai 100%, ada lonjakan order, jadinya tidak bisa memenuhi. Sehingga, kalau utilisasi sudah mencapai 90%, mereka akan ekspansi bangun pabrik lagi,” jelas Urip.
Sementara itu, terkait rencana produsen semen asal Thailand Siam Cement Group masuk ke Indonesia, Hidayat mengungkapkan, belum ada kepastian. Menurutnya, manajemen Siam Cement Group masih sangat berhati-hati untuk melakukan investasi. “Mereka memperhitungkan peluang dan kompetitornya di Indonesia. Masih sensitif,” ujar Hidayat.
Menanggapi rencana investasi Thailand, Menperin menyatakan agar Siam Cement memperhitungkan serapan dalam negeri sebelum melakukan investasi. Pasalnya, untuk konsumsi lokal, industri dalam negeri sudah mampu memenuhi kebutuhan.
Dalam kesempatan itu, Urip juga mengungkap, walau saat ini banyak terjadi ekspansi pabrik semen karena pasar yang terus tumbuh, namun tidak akan memacu pertumbuhan ekspor semen. Pasalnya tekstur semen yang bulky (gempal) membuat resiko ekspor lebih tinggi.
Selain itu biaya transportasi juga akan menjadi lebih besar, sehingga akan mengerus margin produsen semen. “Jadi, biasanya ekspor itu kalau kelebihan produksi yang tidak terserap konsumsi domestik,” tandas Urip.
MEDAN PT Lafarge Cement Indonesia menginvestasikan US$300 juta untuk pengoperasian kembali pabrik semen di Nangroe Aceh Darussalam setelah pabrik itu hancur akibat tsunami pada Desember 2004. "Tahun ini produksi semen di pabrik Aceh itu ditargetkan mencapai 1,6 juta ton atau naik 20% dari produksi sebelum tsunami yang hanya 1,2 juta ton," kata Presiden Direktur Lafarge Cement Indonesia Marc Jarrault di sela-sela penyampaian rencana peringatan bulan keselamatan kerja, Senin.
Dia mengatakan produksi semen dimulai Juni setelah tsunami yang menelan korban sekitar 30% karyawan dan menghancurkan pabrik tersebut,
"Tahun ini produksi semen di pabrik Aceh itu ditargetkan mencapai 1,6 juta ton atau naik 20% dari produksi sebelum tsunami yang hanya 1,2 juta ton," kata Presiden Direktur Lafarge Cement Indonesia Marc Jarrault di sela-sela penyampaian rencana peringatan bulan keselamatan kerja, Senin.
2012, Indocement Produksi Semen 20,6 Juta Ton
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) menargetkan produksi semen mencapai 20,6 juta ton pada 2012 dari perkiraan 18,6 juta ton tahun ini. Tambahan produksi 1,5 juta ton diharapkan bisa disumbang dari dua penggilingan semen (cement mill) di Cirebon, Jawa Barat, yang mulai berproduksi tahun 2011.
"Dengan penambahan dua cement mill di Cirebon, kapasitas produksi kami bisa meningkat sekitar 1,5 juta ton pada 2011," ujar Direktur Keuangan Indocement Christian Kartawijaya di Jakarta, Selasa
. Pabrik yang sedang dibangun itu juga masih bisa dioptimalkan kapasitas produksinya menjadi 2 juta ton pada 2012.
Menurut dia, tahun ini, total kapasitas produksi Indocement sebenarnya hanya 17,1 juta ton, namun bisa digenjot menjadi 18,6 juta ton. Peningkatan kapasitas produksi akan diperoleh dari bertambahnya kapasitas produksi pabrik di Citereup, Bogor, Jawa Barat, dari sebelummnya 1,5 juta ton menjadi 2 juta ton.
Christian menyampaikan, pihaknya terus berupaya meningkatkan kapasitas produksi untuk menjawab peningkatan rata-rata pertumbuhan permintaaan semen nasional sekitar 10%. Perseroan rata-rata membutuhkan dana investasi mencapai US$ 30-35 juta untuk membangun satu cement mill. "Jika membangun dua cement min, itu berarti kami membutuhkan dana sekitar US$ 60-70 juta untuk membiayai pembangunannya," kata dia.
Sementara itu, perseroan masih terus mengkaji rencana pengembangan PLTU untuk menyuplai kebutuhan energi listrik bagi dua cement mill di Cirebon. Kedua pabrik tersebut setidaknya akan memerlukan pasokan listrik 8-10 megawatt (MW). Karena baru merupakan rencana, kebutuhan dana pembangunan PLTU pun masih dikaji lebih lanjut
"Kalau kami jadi memutuskan bangun PLTU, itu tentu di Cirebon. Kalau yang di Citereup dan Kalimantan sudah ada pemasok listriknya," tutur dia. Karena itu, Indocement belum mengalokasikan dana untuk pembangunan PLTU tersebut. Produsen semen ini hanya menganggarkan belanja modal (capital expenditure/capeit) US$ 75 juta atau setara 675,5 miliar tahun ini. Alokasi belanja modal ini sudah termasuk untuk membangun dua cement mill baru di Cirebon.
"Sampai semester pertama tahun ini, kami sudah alokasikan dana sekitar 20-25%. Jadi, sisanya akan alokasikan maksimal pada sementer ini," kata Sekretaris Perusahaan Indocement Dani Handayani, beberapa waktu lalu. Perseroan berhasil membukukan pendapatan bersih Rp 5,36 triliun pada semester 1-2010, meningkat 11,89% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya Rp 4,79 triliun. Sementara itu, laba bersih naik dari Rp 1,17 triliun menjadi Rp 1,64 triliun, (eli)
Entitas terkait
Ringkasan Artikel Ini
2012, Indocement Produksi Semen 20,6 Juta Ton. JAKARTA - PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) menargetkan produksi semen mencapai 20,6 juta ton pada 2012 dari perkiraan 18,6 juta ton tahun ini. Menurut dia, tahun ini, total kapasitas produksi Indocement sebenarnya hanya 17,1 juta ton, namun bisa digenjot menjadi 18,6 juta ton. Peningkatan kapasitas produksi akan diperoleh dari bertambahnya kapasitas produksi pabrik di Citereup, Bogor, Jawa Barat, dari sebelummnya 1,5 juta ton menjadi 2 juta ton.
"Dengan penambahan dua cement mill di Cirebon, kapasitas produksi kami bisa meningkat sekitar 1,5 juta ton pada 2011," ujar Direktur Keuangan Indocement Christian Kartawijaya di Jakarta, Selasa
. Pabrik yang sedang dibangun itu juga masih bisa dioptimalkan kapasitas produksinya menjadi 2 juta ton pada 2012.
Menurut dia, tahun ini, total kapasitas produksi Indocement sebenarnya hanya 17,1 juta ton, namun bisa digenjot menjadi 18,6 juta ton. Peningkatan kapasitas produksi akan diperoleh dari bertambahnya kapasitas produksi pabrik di Citereup, Bogor, Jawa Barat, dari sebelummnya 1,5 juta ton menjadi 2 juta ton.
Christian menyampaikan, pihaknya terus berupaya meningkatkan kapasitas produksi untuk menjawab peningkatan rata-rata pertumbuhan permintaaan semen nasional sekitar 10%. Perseroan rata-rata membutuhkan dana investasi mencapai US$ 30-35 juta untuk membangun satu cement mill. "Jika membangun dua cement min, itu berarti kami membutuhkan dana sekitar US$ 60-70 juta untuk membiayai pembangunannya," kata dia.
Sementara itu, perseroan masih terus mengkaji rencana pengembangan PLTU untuk menyuplai kebutuhan energi listrik bagi dua cement mill di Cirebon. Kedua pabrik tersebut setidaknya akan memerlukan pasokan listrik 8-10 megawatt (MW). Karena baru merupakan rencana, kebutuhan dana pembangunan PLTU pun masih dikaji lebih lanjut
"Kalau kami jadi memutuskan bangun PLTU, itu tentu di Cirebon. Kalau yang di Citereup dan Kalimantan sudah ada pemasok listriknya," tutur dia. Karena itu, Indocement belum mengalokasikan dana untuk pembangunan PLTU tersebut. Produsen semen ini hanya menganggarkan belanja modal (capital expenditure/capeit) US$ 75 juta atau setara 675,5 miliar tahun ini. Alokasi belanja modal ini sudah termasuk untuk membangun dua cement mill baru di Cirebon.
"Sampai semester pertama tahun ini, kami sudah alokasikan dana sekitar 20-25%. Jadi, sisanya akan alokasikan maksimal pada sementer ini," kata Sekretaris Perusahaan Indocement Dani Handayani, beberapa waktu lalu. Perseroan berhasil membukukan pendapatan bersih Rp 5,36 triliun pada semester 1-2010, meningkat 11,89% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya Rp 4,79 triliun. Sementara itu, laba bersih naik dari Rp 1,17 triliun menjadi Rp 1,64 triliun, (eli)
Entitas terkait
Ringkasan Artikel Ini
2012, Indocement Produksi Semen 20,6 Juta Ton. JAKARTA - PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) menargetkan produksi semen mencapai 20,6 juta ton pada 2012 dari perkiraan 18,6 juta ton tahun ini. Menurut dia, tahun ini, total kapasitas produksi Indocement sebenarnya hanya 17,1 juta ton, namun bisa digenjot menjadi 18,6 juta ton. Peningkatan kapasitas produksi akan diperoleh dari bertambahnya kapasitas produksi pabrik di Citereup, Bogor, Jawa Barat, dari sebelummnya 1,5 juta ton menjadi 2 juta ton.
Produksi Semen tembus 54 Juta ton
Produksi semen nasional diproyeksikan menembus 54 juta ton pada 2014, seiring dengan ekspansi beberapa produsen yang dijadwalkan mulai beroperasi penuh 2 tahun mendatang.
Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Urip Trimuryono mengatakan dalam 4 tahun ke depan, seluruh produksi semen di perkirakan mampu diserap oleh pasar domestik dan ekspor dilakukan apabila ada sisa yang tidak terserap.
"Cita-citanya, semua terserap di pasar lokal. Pada 2011, kami menargetkan impor semen sudah tidak ada. Saat ini, impor masih ada untuk memenuhi kebutuhan di Sumatra Utara dan Aceh oleh PT Semen Andalas. Mereka mengimpor dari pabriknya di Malaysia," kata Urip.
ASI memperkirakan produksi semen pada tahun ini mencapai 42 juta ton, naik sekitar 10% dibandingkan dengan 2009 sebanyak 38 juta ton.
Urip menambahkan peningkatan produksi semen terutama didorong oleh ekspansi dan pendirian pabrik baru. Dia mengatakan satu pabrik semen lokal di Jember, Jawa Timur, segera beroperasi pada tahun ini dengan kapasitas sekitar 300.000 ton per tahun.
Dia tidak menyebutkan nilai investasi pabrik tersebut. "Untuk membangun pabrik semen dibutuhkan investasi US$ 135 hingga US$ 175 per ton, bergantung pada spesifikasi peralatan dan mesin yang digunakan."
Dia memproyeksikan konsumsi semen pada 2011 tumbuh 10%, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan konsumsi semen nasional 5%—7% per tahun.
Departemen Perindustrian tengah mempertimbangkan pendirian pabrik semen baru akan diarahkan ke kawasan industri di Kalimantan Timur karena potensi bahan baku berupa batu kapur, tanah liat, dan batu bara di kawasan timur sangat besar.
Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Agro dan Kimia Depperin Tony Tanduk mengatakan saat ini Depperin bersama dengan Pemprov Kaltim mulai melakukan studi kelayakan (feasibility study) terhadap potensi bahan baku semen.
Penelitian untuk tahap awal diperkirakan menelan biaya Rp5 miliar. "Rencana tersebut sedang dibahas dengan melibatkan Pemprov Kaltim," katanya, baru-baru ini.
Sekretaris Jenderal Depperin Agus Tjahajana menjelaskan selain potensi pasokan batu kapur yang besar, Kaltim juga memiliki potensi batu bara yang cukup untuk memasok kebutuhan pembangkit listrik pabrik semen.
"Untuk pabrik baru berkapasitas 2,5 juta ton dibutuhkan pasokan bahan baku dan batu bara yang cukup agar skala ekonomisnya tercapai. Ini yang sedang kita bahas," jelasnya.
Berdasarkan pengalaman, lanjutnya, pembangunan pabrik semen Gresik di Jawa Timur berkapasitas 2 juta ton memerlukan dana investasi sekitar US$500 juta. Namun, untuk investasi pabrik baru di kawasan industri Kaltim, Agus mengaku belum bisa mengestimasikannya.
Menurut dia, pasokan listrik untuk pabrik semen berkapasitas 2 juta ton setidaknya dibutuhkan daya listrik sekitar 150 megawatt (MW) dengan nilai investasi US$150 juta.
Saat ini, katanya, sebagian besar kebutuhan semen di wilayah Kalimantan dipasok oleh PT Semen Tonasa dan PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk.
Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, Depperin berencana menjadikan Kaltim sebagai pusat produksi dan distribusi semen untuk wilayah timur Indonesia.
"Dengan melihat kondisi geografis, pasar semen dari Kaltim juga bisa diekspor ke Malaysia bagian timur mengingat jaraknya cukup. Sampai saat ini, ada beberapa calon investor yang berminat untuk membangun pabrik semen di Kaltim," katanya tanpa menyebut nama perusahaan dimaksud.
Sementara itu, Asosiasi Semen Indonesia melaporkan realisasi penjualan semen domestik sepanjang Januari 2009 terpangkas 3,8% menjadi 2,961 juta ton dibandingkan dengan penjualan Januari 2008 yang tercatat 3,087 juta ton.
Penurunan pasar semen dipicu ketatnya likuiditas dari perbankan dan anjloknya harga komoditas.
Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia Urip Timuryono menjelaskan seretnya modal kerja dari perbankan membuat para pengembang kesulitan memulai proyek baru.
Penjelasn Asosiasi Semen tentang Produksi Nasional :
Menanggapi berita pada Bisnis Indonesia (15 Januari 2010) dengan judul 8 Perusahaan semen diperiksa yang ditulis oleh Elva-ni Harifaningsih ada beberapa data yang kurang benar, sehingga menyebabkan kesimpulan yang tidak benar. Untuk meluluskannya kami dari Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menyampaikan hal-hal sebagai berikut
Kapasitas terpasang produksi semen Indonesia pada tahun 2008 adalah 44,800 juta ton semen per tahun bukan 56,862 juta ton seperti tertulis pada tulisan dengan judul " 8 Perusahaan semen diperiksa" di atas. Sehingga sinyalemen ada kelebihan kapasitas 21 juta ton tidak benar, salah satu buktinya dua perusahaan semen yaitu Semen Gresik dan Semen Tonasa mulai tahun 2009 mulai membangun pabrik baru dengan total kapasitas 5 juta ton dan diperkirakan akan berproduksi pada tahun 2012.
Konsumsi semen tahun 2008 tertulis 38,807 juta ton semen dan penjualan 35,404 juta ton adalah tidak benar, dari data statistik yang kami miliki supply semen untuk kebutuhan domestik pada tahun 2008 adalah 38,071 juta ton berarti tidak ada konsumsi semen yang tidak dapat dipenuhi karena bila benar data di atas konsumsi 38,807 juta ton kekurangan sebesar 736 tibu ton (bila data konsumsi benar) dipenuhi dari stok pasar.
Dari buku statistik 2008 yang kami terbitkan awal 2009 tercatat bahwa utilitas terpasang masing-masing pabrik tidak sama, Semen Padang 111%, Semen Gresik 105%, Semen Tonasa 105%, Semen Baturaja 84%, Indocement (Tiga Roda) 78%, Semen Bosowa 75% dan Holcim 66% bahkan Semen Andalas yang pabriknya rusak karena tsunami pun melakukan impor semen sebesar 1,551 juta ton untuk memenuhi pasarnya di dalam negeri, sehingga sinyalemen bahwa produsen mengurangi produksinya adalah tidak benar.
Mengenai perbedaan harga di dalam negeri dengan harga di beberapa negara tetangga kami juga mempunyai catatan bahwa harga di Indonesia bukan yang tertinggi, perbedaan tersebut adalah karena titik pencatatan harga tersebut tidak jelas, harga yang dicantumkan di Indonesia tersebut diambil dari titik harga pengecer sedang yang lain tidak jelas di mana titik pencatatan harganya.
Demikian hal-hal yang ingin kami sampaikan untuk menanggapi pemberitaan Bisnis Indonesia
Urip Timuryono Ketua Asosiasi Semen Indonesia) Terima kasih atas penjelasannya. Data produksi dan konsumsi semen itu disampaikan oleh KPPU dalam forum jumalis. Terima kasih.
Redaksi
Entitas terkaitData | Harifaningsih | Holcim | Indocement | Indonesia | Kapasitas | Konsumsi | KPPU | Menanggapi | Mengenai | Penjelasan | Perusahaan | Terima | Bisnis Indonesia | Semen Andalas | Semen Baturaja | Semen Bosowa | Semen Gresik | Semen Padang | Semen Tonasa | Asosiasi Semen Indonesia | Urip Timuryono Ketua Asosiasi Semen |
Ringkasan Artikel Ini
Konsumsi semen tahun 2008 tertulis 38,807 juta ton semen dan penjualan 35,404 juta ton adalah tidak benar, dari data statistik yang kami miliki supply semen untuk kebutuhan domestik pada tahun 2008 adalah 38,071 juta ton berarti tidak ada konsumsi semen yang tidak dapat dipenuhi karena bila benar data di atas konsumsi 38,807 juta ton kekurangan sebesar 736 tibu ton (bila data konsumsi benar) dipenuhi dari stok pasar. Dari buku statistik 2008 yang kami terbitkan awal 2009 tercatat bahwa utilitas terpasang masing-masing pabrik ti- dak sama, Semen Padang 111%, Semen Gresik 105%, Semen Tonasa 105%, Semen Baturaja 84%, Indocement (Tiga Roda) 78%, Semen Bosowa 75% dan Holcim 66% bahkan Semen Andalas yang pabriknya rusak karena tsunami pun melakukan impor semen sebesar 1,551 juta ton untuk memenuhi pasarnya di dalam negeri, sehingga sinyalemen bahwa produsen mengurangi produksinya adalah tidak benar.
Pasar semen tumbuh 17,7% Sejumlah pabrik tambah kapasitas produksi.
Penjualan semen di dalam negeri sepanjang kuartal 1/2010 melonjak 17,72% menjadi 9,74 juta ton dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama 2009 sebanyak 8,27 juta ton. Lonjakan penjualan tersebut mengindikasikan pemulihan daya beli konsumen domestik yang sempat dihantam resesi ekonomi global sejak akhir 2008.
Berdasarkan catatan Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pertumbuhan penjualan tertinggi terjadi pada Februari, yakni 19,72% menjadi 3,16 juta ton dibandingkan dengan bulan yang sama 2009 sebesar 2,64 juta ton. Namun, pada Maret penjualan hanya tumbuh 15,94% dibandingkan dengan bulan yang sama 2009, yakni dari 2,67 juta ton menjadi 3,09 juta ton. Padahal, jumlah hari kerja pada Februari lebih sedikit daripada Maret.
Pada Januari 2010, penjualan semen juga melonjak 17,58% menjadi 3,49 juta ton dibandingkan dengan Januari 2009 sebanyak 2,97 juta ton. "Permintaan semen pada Februari tahun ini luar biasa besar dibandingkan dengan Februari 2009 sehingga persentasenya terlihat cukup mencolok, sedangkan permintaan pada Maret mulai stabil," kata Ketua Umum ASI Urip Timuryono kemarin.
Secara umum, jelasnya, peningkatan pasar semen di dalam negeri pada kuartal 1/2010 disebabkan pemulihan daya beli konsumen domestik yang sempat dihantam dampak krisis ekonomi dunia. Hantaman krisis membuat permintaan merosot tajam pada kuartal 1/2009.
"Pada kuartal 1/2009, seluruh perusahaan di sektor properti, infrastruktur, dan industri mengurangi kegiatan pembangunan. Kondisi ini membuat sejumlah proyek yang didanai pemerintah tersendat. Pada tahun ini, situasi yang kurang menguntungkan itu mulai berubah. Situasi makroekonomi mulai stabil," katanya.
Melihat keadaan itu, Urip kian optimistis penjualan semen pada April akan lebih besar dibandingkan dengan April 2009. "Secara umum, penjualan semen pada kuartal II trennya akan lebih baik diban-dingkan dengan kuartal I. Ini merupakan rumus yang telah berlaku umum mengingat pada kuartal II biasanya mulai masuk musim panas sehingga pengerjaan proyek dipercepat," katanya.
Banyaknya proyek infrastruktur dan properti yang sempat tertunda pada akhir 2009 akan dituntaskan pada tahun ini. Atas dasar itu, dia yakin target pertumbuhan penjualan semen sebesar 6% menjadi 40,28 juta ton pada tahun ini dapat dicapai. Tambah kapasitas Sejak akhir tahun lalu, industri semen domestik mulai merealisasikan sejumlah proyek senilai US$1,94 miliar untuk menambah kapasitas terpasang 14,5 juta ton dari 44,89 juta ton pada 2009 menjadi 59,39 juta ton pada 2015, termasuk meningkatkan daya listrik 200 megawatt (MW).
Peningkatan kapasitas untuk mendongkrak permintaan domestik yang tumbuh 7%-8% per tahun dan perluasan pasar ekspor. Pada 2015, konsumsi semen di dalam negeri diprediksi mencapai 56 juta-58 juta ton, meningkat dari konsumsi pada 2009 sebanyak 38,5 juta ton. Menurut Direktur Industri Kimia Hilir Direktorat Jenderal Industri Agro Kimia dan Hasil Hutan Kemenperin Tony Tanduk, penambahan daya listrik akan meningkatkan investasi sekitar US$200 juta, sedangkan penambahan kapasitas terpasang dan lahan mencapai US$1,74 miliar.
Berdasarkan matriks pembangunan megaproyek semen Kemenperin, sejak 2008 sejumlah perusahaan semen telah merealisasikan penambahan kapasitas, di antara* nya pabrik baru PT Semen Andalas lndone-sia berkapasitas 1,8 juta ton per tahun. Proyek ini akan beroperasi mulai tahun ini. Selain itu, PT Semen Bosowa Maros yang berbasis, di Batam dan PT Indocement Tunggal Prakarsa akan mengoptimalkan pengembangan pabrik untuk menambah kapasitas masing-masing 1 juta ton per tahun. (yusuf.waluyo@bisnis.co.id)
Entitas terkaitBatam | Hantaman | Kondisi | Lonjakan | Pasar | Peningkatan | Permintaan | Proyek | Situasi | Tambah | Urip | Bisnis Indonesia | JAKARTA Penjualan | Pada Januari | Asosiasi Semen Indonesia | PT Semen Andalas | Hasil Hutan Kemenperin Tony | OLEH YUSUF WALUYO JATI | PT Indocement Tunggal Prakarsa | PT Semen Bosowa Maros | Ketua Umum ASI Urip Timuryono | Menurut Direktur Industri Kimia Hilir Direktorat Jenderal Industri Agro Kimia |
Ringkasan Artikel Ini
OLEH YUSUF WALUYO JATI Bisnis Indonesia JAKARTA Penjualan semen di dalam negeri sepanjang kuartal 1/2010 melonjak 17,72% menjadi 9,74 juta ton dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama 2009 sebanyak 8,27 juta ton. Berdasarkan catatan Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pertumbuhan penjualan tertinggi terjadi pada Februari, yakni 19,72% menjadi 3,16 juta ton dibandingkan dengan bulan yang sama 2009 sebesar 2,64 juta ton. Tambah kapasitas Sejak akhir tahun lalu, industri semen domestik mulai merealisasikan sejumlah proyek senilai US$1,94 miliar untuk menambah kapasitas terpasang 14,5 juta ton dari 44,89 juta ton pada 2009 menjadi 59,39 juta ton pada 2015, termasuk meningkatkan daya listrik 200 megawatt (MW). Pada 2015, konsumsi semen di dalam negeri diprediksi mencapai 56 juta-58 juta ton, meningkat dari konsumsi pada 2009 sebanyak 38,5 juta ton.
Data Pabrik Semen di Indonesia
Pada saat tulisan ini dibuat, informasi mengenai jumlah pabrik semen yang telah beroperasi secara komersil di Indonesia adalah delapan (8) perusahaan. Dan menurut data di kompas.com (17/2/2010), disebutkan bahwa tidak ada pembangunan pabrik semen baru di Indonesia sejak 10 tahun yang lalu.
Bulan April 2010 ini, diperkirakan pabrik semen baru milik PT. Gunung Pantara Barisan di Sumut akan segera beroperasi. Anda bisa membaca infonya secara lengkap di sini.
Di bawah ini adalah pabrik semen yang telah beroperasi di Indonesia. Informasinya dilengkapi pula dengan tahun pendirian, lokasi pabrik, jumlah unit (pabrik), kapasitas produksi dan alamat situs masing-masing pabrik semen.
PT.Indocement Tunggal Prakarsa (Semen Tiga Roda / Heidelberg)
Lokasi: Citeureup (Bogor), Palimanan (Cirebon), Tarjun (Kalsel)
Didirikan tanggal: 1985
Jumlah pabrik: 12
Kapasitas produksi total: 15.600.000 ton
Website: http://www.indocement.co.id
PT.Semen Baturaja Persero (Semen Baturaja)
Lokasi: Baturaja, Palembang, Panjang (Sumsel)
Didirikan tanggal: 14 November 1974
Jumlah pabrik: 3
Kapasitas produksi total: 1.250.000 ton
Website: http://www.semenbaturaja.co.id
PT.Semen Padang (Semen Padang)
Lokasi: Indarung (Sumbar)
Didirikan tanggal: 1910
Jumlah pabrik: 4
Kapasitas produksi total: 5.240.000 ton
Website: http://semenpadang.co.id
PT.Semen Gresik (Semen Gresik)
Lokasi: Gresik (Jatim)
Didirikan tanggal: 7 Agustus 1957
Jumlah pabrik:
Kapasitas produksi total: 8.520.000 ton
Website: http://www.semengresik.com
PT.Semen Bosowa (Semen Bosowa)
Lokasi: Maros, Batam
Didirikan tanggal: 1999
Jumlah pabrik: 2
Kapasitas produksi total: 3.000.000 ton
Website: http://www.bosowa.co.id
PT. Semen Andalas (Lafarge)
Lokasi: Medan (Sumut)
Didirikan tanggal: n.a
Jumlah pabrik: 1
Kapasitas produksi total: 1.800.000 ton
Website: n.a
PT.Semen Cibinong (Holcim)
Lokasi: Narogong-Cibinong (Jabar), Cilacap (Jateng)
Didirikan tanggal: 1971
Jumlah pabrik: 6
Kapasitas produksi total: 9.700.000 ton
Website: http://www.semen-cibinong.com
PT. Semen Tonasa
Lokasi: Ds Tonasa, Kab. Pangkep (Sulsel)
Didirikan tanggal: 5 Desember 1960
Jumlah pabrik: 3
Kapasitas produksi total: 3.480.000 ton
Website: http://www.sementonasa.co.id
OUTLOOK INDUSTRI SEMEN 2010
Arga Paradita Sutiyono
Pendahuluan
Di dalam kondisi negara Indonesia yang terus tumbuh saat ini di tahun 2009 dengan laju
pertumbuhan 4,3% menimbulkan segala konsekuensi terhadap pertumbuhan riil bangsa
Indonesia. Tercatat laju inflasi terus stabil yang mencapai 3,9 % YoY pada tahun 2009
sedangkan pada bulan November 2009 terjadi deflasi sebesar 0,03%. Namun suku bunga Bank
Indonesia (BI rate) cenderung tidak berubah, sementara inflasi semakin melemah. Tercatat BI
rate tetap berada pada kisaran 6,5 % sejak semester II-2009, sedangkan laju inflasi hingga
2010 diperkirakan berada disekitar 5% plus minus 1%, sehingga diperkirakan penguatan
pertumbuhan negara Indonesia hingga tahun 2010 masih akan berlanjut. Selain itu, depresiasi
dollar terhadap mata uang negara lain juga akan menguatkan investasi terhadap negaranegara
berkembang.
Fenomena pertumbuhan ekonomi negara yang terus bergerak naik serta dukungan pemerintah
terhadap iklim investasi memberikan beberapa harapan terhadap perkembangan sektor rill dan
sektor keuangan. Salah satu sektor yang cukup baik untuk dicermati adalah sektor semen yang
juga mendapat dukungan dari pemerintah berupa program kerja pemerintah terhadap
pembangunan infrastruktur negara.
Produsen dan Kapasitas Produksi
Saat ini sembilan produsen semen yang beroperasi di Indonesia yang terbagi atas 5
perusahaan milik pemerintah, yaitu Semen Gresik Group (SGG) yang menguasai sekitar 45%
pangsa pasar semen, serta 4 perusahaan lainnya milik swasta, yaitu Indocement yang
menguasai 30% pangsa pasar, Holcim Indonesia yang menguasai 15% pangsa pasar, dan
produsen semen lainnya yang terbagi atas Semen Andalas, Semen Baturaja, Semen Bosowa,
dan Semen Kupang, menguasai 10% pangsa pasar secara total. Dilihat dari penguasaan
pangsa pasar tersebut, terdapat dua pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar sebagai
market leader, yaitu SGG dan Holcim. Berdasarkan struktur pasar tersebut, pasar semen
Indonesia adalah pasar oligopoli.
Berdasarkan kapasitas produksinya, perusahaan semen swasta saat ini mempunyai kapasitas produksi yang lebih besar dibanding perusahaan semen milik negara (BUMN), yaitu mencapai 60% dari total kapasitas produksi nasional, sisanya sebesar 40% milik BUMN. Perusahaan semen yang mempunyai kapasitas produksi terbesar saat ini adalah PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk dengan kapasitas produksi sebesar 15,65 juta ton/tahun. Peringkat kedua adalah PT Holcim Indonesia Tbk dengan kapasitas terpasang 9.7 juta ton/tahun, sedangkan peringkat ketiga dikuasai oleh PT Semen Gresik Tbk dengan kapasitas produksi 8,65 juta ton/tahun.
Selanjutnya adalah PT Semen Padang dengan kapasitas produksi 5,87 juta ton/tahun dan PT.Semen Tonasa dengan kapasitas produksi 3,48 juta ton/tahun. SGG sendiri secara total memiliki kapasitas produksi terbesar, yaitu mencapai 20 juta ton/tahun. Total kapasitas produksi semen Indonesia di tahun sejak 2006 hingga 2008 tidak berubah, yaitu sebesar 46,54 juta ton/tahun. Bahkan kami estimasikan angka kapasitas produksi tersebut tidak akan berubah hingga 2011.
Kapasitas Produksi Pabrik Semen Indonesia (juta ton)
Sumber : CEIC
Realisasi produksi semen sepanjang Januari hingga September 2009 turun 5,1% menjadi 27 juta ton dibandingkan realisasi produksi semen pada periode yang sama tahun lalu sebesar 28,5 juta ton. Penurunan ini disebabkan oleh krisis global yang masih berdampak pada realisasi pembangunan di permulaan tahun 2009. Namun semakin
membaiknya perekonomian global dan Indonesia membawa kepada semakin baiknya pertumbuhan sektor riil dan konsumsi masyarakat.
Perkembangan Kapasitas dan Produksi Semen Indonesia
No. Nama Perusahaan Lokasi 2004 2005 2006 2007 2008
Perusahaan BUMN :
1 PT Semen Gresik Tuban, Jatim 8.20 8.20 8.65 8.65 8.65
2 PT Semen Padang Padang, Sumbar 5.87 5.87 5.87 5.87 5.87
3 PT Semen Tonasa Pangkep,Sulsel 3.48 3.48 3.48 3.48 3.48
4 PT Semen Baturaja ,Sumsel 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20
5 PT Semen Kupang Kupang, NTT 270.00 270.00 270.00 270.00 270.00
Total Kapasitas BUMN 17.90 18.94 18.94 19.39 19.39
Perusahaan Swasta :
1 PT Indocement Tunggal Prakarsa Citeureup & Cirebon 15.65 15.65 15.65 15.65 15.65
2 PT Holcim Citeureup, Jabar 9.70 9.70 9.70 9.70 9.70
3 PT Semen Andalas Lhok Nga, Aceh 1.40 0 0 0 ‐
4 PT Semen Nusantara *) Cilacap ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
5 PT Semen Bosowa Maros Maros, Sulsel 1.80 1.80 1.80 1.80 2.80
6 PT Indo Kodeco Cement **) Tarjun, Kalsel ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
Total Kapasitas Swasta 28.55 28.55 28.55 28.55 28.55
TOTAL INDONESIA 47.87 46.09 46.54 46.54 46.54
ASIA SECURITIES Outlook Industri Semen 2010 | 8 Desember 2010
Produksi Berdasarkan Perusahaan
Berdasarkan data produksi dari setiap produsen semen di Indonesia terlihat bahwa PT
Indocement Tungga Prakasa Tbk masih menguasai 30% total produksi nasional, kemudian
disusul oleh PT Semen Gresik Tbk dengan kontribusi sekitar 24%, dan di tempat ketiga masih dikuasai oleh PT Holcim Indonesia Tbk dengan kontribusi sebesar 15%. Namun secara kelompok SGG menjadi urutan pertama yang menguasai 47% produksisemen nasional.
Tabel 2
Produksi Semen Nasional
Tahun 2003- 2008 (’000 ton)
Tahun SGG Indocement Holcim
2003 17.899,704 5.120,331 6.431,939
2004 20.287,567 5.647,850 7.912,589
2005 20.287,567 5.647,850 7.912,589
2006 20.371,459 4.557,317 8.021,565
2007 21.580,554 5.517,564 7.868,834
2008 24.141,143 5.733,650 8.634,179
Sumber : CEIC
Konsumsi Semen Indonesia
Pertumbuhan konsumsi semen di Indonesia mulai bergeser ke luar Jawa karena proyek-proyek
infrastruktur yang menggunakan semen dalam jumlah besar di Jawa semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh pengalihan fokus pembangunan infrastruktur dari Jawa ke luar Jawa dan pemberian kewenangan pengelolaan uang dari pemerintah pusat ke daerah.
Kondisi ini disebabkan oleh meningkatnya aliran dana alokasi umum dan dana alokasi khusus ke daerah setiap tahunnya. Konsentrasi dana yang besar di daerah telah mendorong pembangunan infrastruktur ke luar Jawa sehingga permintaan atas semen meningkat.
Pertumbuhan konsumsi semen di Sumatera mencapai 14% per tahun, serta Kalimantan
mencapai 20% per tahun. Sementara pertumbuhan konsumsi semen di Jawa hanya 4% per
tahun. Mengacu pada tingkat konsumsi sebesar itu, prospek industri semen masih cerah untuk beberapa tahun ke depan. Sampai dengan akhir 2009, prediksi penjualan semen tercatat sebesar 41 juta ton, naik 1,5 % dari tahun 2008 yang mencapai 40 juta ton. Perbandingan antara realisasi produksi semen dengan kapasitas tahun 2008 mencapai 76%. Sedangkan produksi di tahun 2009 sampai dengan September mencapai 75,6% dari kapasitas terpasang .
ASIA SECURITIES Outlook Industri Semen 2010 | 8 Desember 2009
Penjualan Semen Nasional 2004-2009 (’000 ton)
Sumber : CEIC
Permintaan Semen Luar Negeri
Pada perkembangannya, ekspor semen dari Indonesia mengalami banyak kesulitan karena
ketatnya kompetisi dari negara-negara lain, seperti China, begitu pula dengan harganya yang tertekan, sehinga kebanyakan produsen semen di Indoesia lebih berorientasi kepada pasar dalam negeri.
Selain itu, pertumbuhan pembangunan infrastruktur dan property di Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya berpotensi meningkatkan laju penjualan semen. Apalagi disaat harga minyak dunia yang cenderung naik, menyebabkan biaya distribusi tujuan ekspor semakin tinggi.
Perkembangan Ekspor Semen dan Clinker Indonesia
Tahun Clinker Semen Total Pertumbuhan
(‘000 Ton) (‘000 Ton) (‘000 Ton) (%)
2000 4.903 43.470 48.373 ‐6,60%
2001 5.750 43.780 49.530 2,39%
2002 3.791 44.425 48.216 ‐2,65%
2003 3.073 44.425 47.498 ‐1,49%
2004 3.289 42.690 45.979 ‐3,20%
2005 3.289 42.690 45.979 0,00%
2006 2.245 40.730 42.975 ‐6,53%
2007 2.929 40.730 43.659 1,59%
2008 1.641 40.730 42.371 ‐2,95%
Sumber : CEIC
Outlook Industri Semen
• Dukungan pemerintah terhadap program pengembangan infrastruktur dimana peluang
pertumbuhan infrastruktur adalah 3% dari PDB untuk tahun 2010 hingga 2014.
• Bahan baku yang masih mencukupi, karena beberapa lokasi bahan baku kapur dan
Gamping masih tersebar luas di seluruh daerah Indonesia.
• Peningkatan konsumsi semen yang terus naik setiap tahun dengan laju pertumbuhan
permintaan 7-8% per tahun. Pertumbuhan permintaan Kalimantan dan Sumetra naik
15-18% setiap tahun.
• Harga semen naik 14% dari tahun 2008.
• Peningkatan kapasitas produksi semua produsen semen karena dalam 5 tahun terakhir
kapasitas pabrik semen akan mengalami full capacity.
Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Urip Trimuryono mengatakan dalam 4 tahun ke depan, seluruh produksi semen di perkirakan mampu diserap oleh pasar domestik dan ekspor dilakukan apabila ada sisa yang tidak terserap.
"Cita-citanya, semua terserap di pasar lokal. Pada 2011, kami menargetkan impor semen sudah tidak ada. Saat ini, impor masih ada untuk memenuhi kebutuhan di Sumatra Utara dan Aceh oleh PT Semen Andalas. Mereka mengimpor dari pabriknya di Malaysia," kata Urip.
ASI memperkirakan produksi semen pada tahun ini mencapai 42 juta ton, naik sekitar 10% dibandingkan dengan 2009 sebanyak 38 juta ton.
Urip menambahkan peningkatan produksi semen terutama didorong oleh ekspansi dan pendirian pabrik baru. Dia mengatakan satu pabrik semen lokal di Jember, Jawa Timur, segera beroperasi pada tahun ini dengan kapasitas sekitar 300.000 ton per tahun.
Dia tidak menyebutkan nilai investasi pabrik tersebut. "Untuk membangun pabrik semen dibutuhkan investasi US$ 135 hingga US$ 175 per ton, bergantung pada spesifikasi peralatan dan mesin yang digunakan."
Dia memproyeksikan konsumsi semen pada 2011 tumbuh 10%, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan konsumsi semen nasional 5%—7% per tahun.
Departemen Perindustrian tengah mempertimbangkan pendirian pabrik semen baru akan diarahkan ke kawasan industri di Kalimantan Timur karena potensi bahan baku berupa batu kapur, tanah liat, dan batu bara di kawasan timur sangat besar.
Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Agro dan Kimia Depperin Tony Tanduk mengatakan saat ini Depperin bersama dengan Pemprov Kaltim mulai melakukan studi kelayakan (feasibility study) terhadap potensi bahan baku semen.
Penelitian untuk tahap awal diperkirakan menelan biaya Rp5 miliar. "Rencana tersebut sedang dibahas dengan melibatkan Pemprov Kaltim," katanya, baru-baru ini.
Sekretaris Jenderal Depperin Agus Tjahajana menjelaskan selain potensi pasokan batu kapur yang besar, Kaltim juga memiliki potensi batu bara yang cukup untuk memasok kebutuhan pembangkit listrik pabrik semen.
"Untuk pabrik baru berkapasitas 2,5 juta ton dibutuhkan pasokan bahan baku dan batu bara yang cukup agar skala ekonomisnya tercapai. Ini yang sedang kita bahas," jelasnya.
Berdasarkan pengalaman, lanjutnya, pembangunan pabrik semen Gresik di Jawa Timur berkapasitas 2 juta ton memerlukan dana investasi sekitar US$500 juta. Namun, untuk investasi pabrik baru di kawasan industri Kaltim, Agus mengaku belum bisa mengestimasikannya.
Menurut dia, pasokan listrik untuk pabrik semen berkapasitas 2 juta ton setidaknya dibutuhkan daya listrik sekitar 150 megawatt (MW) dengan nilai investasi US$150 juta.
Saat ini, katanya, sebagian besar kebutuhan semen di wilayah Kalimantan dipasok oleh PT Semen Tonasa dan PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk.
Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, Depperin berencana menjadikan Kaltim sebagai pusat produksi dan distribusi semen untuk wilayah timur Indonesia.
"Dengan melihat kondisi geografis, pasar semen dari Kaltim juga bisa diekspor ke Malaysia bagian timur mengingat jaraknya cukup. Sampai saat ini, ada beberapa calon investor yang berminat untuk membangun pabrik semen di Kaltim," katanya tanpa menyebut nama perusahaan dimaksud.
Sementara itu, Asosiasi Semen Indonesia melaporkan realisasi penjualan semen domestik sepanjang Januari 2009 terpangkas 3,8% menjadi 2,961 juta ton dibandingkan dengan penjualan Januari 2008 yang tercatat 3,087 juta ton.
Penurunan pasar semen dipicu ketatnya likuiditas dari perbankan dan anjloknya harga komoditas.
Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia Urip Timuryono menjelaskan seretnya modal kerja dari perbankan membuat para pengembang kesulitan memulai proyek baru.
Penjelasn Asosiasi Semen tentang Produksi Nasional :
Menanggapi berita pada Bisnis Indonesia (15 Januari 2010) dengan judul 8 Perusahaan semen diperiksa yang ditulis oleh Elva-ni Harifaningsih ada beberapa data yang kurang benar, sehingga menyebabkan kesimpulan yang tidak benar. Untuk meluluskannya kami dari Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menyampaikan hal-hal sebagai berikut
Kapasitas terpasang produksi semen Indonesia pada tahun 2008 adalah 44,800 juta ton semen per tahun bukan 56,862 juta ton seperti tertulis pada tulisan dengan judul " 8 Perusahaan semen diperiksa" di atas. Sehingga sinyalemen ada kelebihan kapasitas 21 juta ton tidak benar, salah satu buktinya dua perusahaan semen yaitu Semen Gresik dan Semen Tonasa mulai tahun 2009 mulai membangun pabrik baru dengan total kapasitas 5 juta ton dan diperkirakan akan berproduksi pada tahun 2012.
Konsumsi semen tahun 2008 tertulis 38,807 juta ton semen dan penjualan 35,404 juta ton adalah tidak benar, dari data statistik yang kami miliki supply semen untuk kebutuhan domestik pada tahun 2008 adalah 38,071 juta ton berarti tidak ada konsumsi semen yang tidak dapat dipenuhi karena bila benar data di atas konsumsi 38,807 juta ton kekurangan sebesar 736 tibu ton (bila data konsumsi benar) dipenuhi dari stok pasar.
Dari buku statistik 2008 yang kami terbitkan awal 2009 tercatat bahwa utilitas terpasang masing-masing pabrik tidak sama, Semen Padang 111%, Semen Gresik 105%, Semen Tonasa 105%, Semen Baturaja 84%, Indocement (Tiga Roda) 78%, Semen Bosowa 75% dan Holcim 66% bahkan Semen Andalas yang pabriknya rusak karena tsunami pun melakukan impor semen sebesar 1,551 juta ton untuk memenuhi pasarnya di dalam negeri, sehingga sinyalemen bahwa produsen mengurangi produksinya adalah tidak benar.
Mengenai perbedaan harga di dalam negeri dengan harga di beberapa negara tetangga kami juga mempunyai catatan bahwa harga di Indonesia bukan yang tertinggi, perbedaan tersebut adalah karena titik pencatatan harga tersebut tidak jelas, harga yang dicantumkan di Indonesia tersebut diambil dari titik harga pengecer sedang yang lain tidak jelas di mana titik pencatatan harganya.
Demikian hal-hal yang ingin kami sampaikan untuk menanggapi pemberitaan Bisnis Indonesia
Urip Timuryono Ketua Asosiasi Semen Indonesia) Terima kasih atas penjelasannya. Data produksi dan konsumsi semen itu disampaikan oleh KPPU dalam forum jumalis. Terima kasih.
Redaksi
Entitas terkaitData | Harifaningsih | Holcim | Indocement | Indonesia | Kapasitas | Konsumsi | KPPU | Menanggapi | Mengenai | Penjelasan | Perusahaan | Terima | Bisnis Indonesia | Semen Andalas | Semen Baturaja | Semen Bosowa | Semen Gresik | Semen Padang | Semen Tonasa | Asosiasi Semen Indonesia | Urip Timuryono Ketua Asosiasi Semen |
Ringkasan Artikel Ini
Konsumsi semen tahun 2008 tertulis 38,807 juta ton semen dan penjualan 35,404 juta ton adalah tidak benar, dari data statistik yang kami miliki supply semen untuk kebutuhan domestik pada tahun 2008 adalah 38,071 juta ton berarti tidak ada konsumsi semen yang tidak dapat dipenuhi karena bila benar data di atas konsumsi 38,807 juta ton kekurangan sebesar 736 tibu ton (bila data konsumsi benar) dipenuhi dari stok pasar. Dari buku statistik 2008 yang kami terbitkan awal 2009 tercatat bahwa utilitas terpasang masing-masing pabrik ti- dak sama, Semen Padang 111%, Semen Gresik 105%, Semen Tonasa 105%, Semen Baturaja 84%, Indocement (Tiga Roda) 78%, Semen Bosowa 75% dan Holcim 66% bahkan Semen Andalas yang pabriknya rusak karena tsunami pun melakukan impor semen sebesar 1,551 juta ton untuk memenuhi pasarnya di dalam negeri, sehingga sinyalemen bahwa produsen mengurangi produksinya adalah tidak benar.
Pasar semen tumbuh 17,7% Sejumlah pabrik tambah kapasitas produksi.
Penjualan semen di dalam negeri sepanjang kuartal 1/2010 melonjak 17,72% menjadi 9,74 juta ton dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama 2009 sebanyak 8,27 juta ton. Lonjakan penjualan tersebut mengindikasikan pemulihan daya beli konsumen domestik yang sempat dihantam resesi ekonomi global sejak akhir 2008.
Berdasarkan catatan Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pertumbuhan penjualan tertinggi terjadi pada Februari, yakni 19,72% menjadi 3,16 juta ton dibandingkan dengan bulan yang sama 2009 sebesar 2,64 juta ton. Namun, pada Maret penjualan hanya tumbuh 15,94% dibandingkan dengan bulan yang sama 2009, yakni dari 2,67 juta ton menjadi 3,09 juta ton. Padahal, jumlah hari kerja pada Februari lebih sedikit daripada Maret.
Pada Januari 2010, penjualan semen juga melonjak 17,58% menjadi 3,49 juta ton dibandingkan dengan Januari 2009 sebanyak 2,97 juta ton. "Permintaan semen pada Februari tahun ini luar biasa besar dibandingkan dengan Februari 2009 sehingga persentasenya terlihat cukup mencolok, sedangkan permintaan pada Maret mulai stabil," kata Ketua Umum ASI Urip Timuryono kemarin.
Secara umum, jelasnya, peningkatan pasar semen di dalam negeri pada kuartal 1/2010 disebabkan pemulihan daya beli konsumen domestik yang sempat dihantam dampak krisis ekonomi dunia. Hantaman krisis membuat permintaan merosot tajam pada kuartal 1/2009.
"Pada kuartal 1/2009, seluruh perusahaan di sektor properti, infrastruktur, dan industri mengurangi kegiatan pembangunan. Kondisi ini membuat sejumlah proyek yang didanai pemerintah tersendat. Pada tahun ini, situasi yang kurang menguntungkan itu mulai berubah. Situasi makroekonomi mulai stabil," katanya.
Melihat keadaan itu, Urip kian optimistis penjualan semen pada April akan lebih besar dibandingkan dengan April 2009. "Secara umum, penjualan semen pada kuartal II trennya akan lebih baik diban-dingkan dengan kuartal I. Ini merupakan rumus yang telah berlaku umum mengingat pada kuartal II biasanya mulai masuk musim panas sehingga pengerjaan proyek dipercepat," katanya.
Banyaknya proyek infrastruktur dan properti yang sempat tertunda pada akhir 2009 akan dituntaskan pada tahun ini. Atas dasar itu, dia yakin target pertumbuhan penjualan semen sebesar 6% menjadi 40,28 juta ton pada tahun ini dapat dicapai. Tambah kapasitas Sejak akhir tahun lalu, industri semen domestik mulai merealisasikan sejumlah proyek senilai US$1,94 miliar untuk menambah kapasitas terpasang 14,5 juta ton dari 44,89 juta ton pada 2009 menjadi 59,39 juta ton pada 2015, termasuk meningkatkan daya listrik 200 megawatt (MW).
Peningkatan kapasitas untuk mendongkrak permintaan domestik yang tumbuh 7%-8% per tahun dan perluasan pasar ekspor. Pada 2015, konsumsi semen di dalam negeri diprediksi mencapai 56 juta-58 juta ton, meningkat dari konsumsi pada 2009 sebanyak 38,5 juta ton. Menurut Direktur Industri Kimia Hilir Direktorat Jenderal Industri Agro Kimia dan Hasil Hutan Kemenperin Tony Tanduk, penambahan daya listrik akan meningkatkan investasi sekitar US$200 juta, sedangkan penambahan kapasitas terpasang dan lahan mencapai US$1,74 miliar.
Berdasarkan matriks pembangunan megaproyek semen Kemenperin, sejak 2008 sejumlah perusahaan semen telah merealisasikan penambahan kapasitas, di antara* nya pabrik baru PT Semen Andalas lndone-sia berkapasitas 1,8 juta ton per tahun. Proyek ini akan beroperasi mulai tahun ini. Selain itu, PT Semen Bosowa Maros yang berbasis, di Batam dan PT Indocement Tunggal Prakarsa akan mengoptimalkan pengembangan pabrik untuk menambah kapasitas masing-masing 1 juta ton per tahun. (yusuf.waluyo@bisnis.co.id)
Entitas terkaitBatam | Hantaman | Kondisi | Lonjakan | Pasar | Peningkatan | Permintaan | Proyek | Situasi | Tambah | Urip | Bisnis Indonesia | JAKARTA Penjualan | Pada Januari | Asosiasi Semen Indonesia | PT Semen Andalas | Hasil Hutan Kemenperin Tony | OLEH YUSUF WALUYO JATI | PT Indocement Tunggal Prakarsa | PT Semen Bosowa Maros | Ketua Umum ASI Urip Timuryono | Menurut Direktur Industri Kimia Hilir Direktorat Jenderal Industri Agro Kimia |
Ringkasan Artikel Ini
OLEH YUSUF WALUYO JATI Bisnis Indonesia JAKARTA Penjualan semen di dalam negeri sepanjang kuartal 1/2010 melonjak 17,72% menjadi 9,74 juta ton dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama 2009 sebanyak 8,27 juta ton. Berdasarkan catatan Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pertumbuhan penjualan tertinggi terjadi pada Februari, yakni 19,72% menjadi 3,16 juta ton dibandingkan dengan bulan yang sama 2009 sebesar 2,64 juta ton. Tambah kapasitas Sejak akhir tahun lalu, industri semen domestik mulai merealisasikan sejumlah proyek senilai US$1,94 miliar untuk menambah kapasitas terpasang 14,5 juta ton dari 44,89 juta ton pada 2009 menjadi 59,39 juta ton pada 2015, termasuk meningkatkan daya listrik 200 megawatt (MW). Pada 2015, konsumsi semen di dalam negeri diprediksi mencapai 56 juta-58 juta ton, meningkat dari konsumsi pada 2009 sebanyak 38,5 juta ton.
Data Pabrik Semen di Indonesia
Pada saat tulisan ini dibuat, informasi mengenai jumlah pabrik semen yang telah beroperasi secara komersil di Indonesia adalah delapan (8) perusahaan. Dan menurut data di kompas.com (17/2/2010), disebutkan bahwa tidak ada pembangunan pabrik semen baru di Indonesia sejak 10 tahun yang lalu.
Bulan April 2010 ini, diperkirakan pabrik semen baru milik PT. Gunung Pantara Barisan di Sumut akan segera beroperasi. Anda bisa membaca infonya secara lengkap di sini.
Di bawah ini adalah pabrik semen yang telah beroperasi di Indonesia. Informasinya dilengkapi pula dengan tahun pendirian, lokasi pabrik, jumlah unit (pabrik), kapasitas produksi dan alamat situs masing-masing pabrik semen.
PT.Indocement Tunggal Prakarsa (Semen Tiga Roda / Heidelberg)
Lokasi: Citeureup (Bogor), Palimanan (Cirebon), Tarjun (Kalsel)
Didirikan tanggal: 1985
Jumlah pabrik: 12
Kapasitas produksi total: 15.600.000 ton
Website: http://www.indocement.co.id
PT.Semen Baturaja Persero (Semen Baturaja)
Lokasi: Baturaja, Palembang, Panjang (Sumsel)
Didirikan tanggal: 14 November 1974
Jumlah pabrik: 3
Kapasitas produksi total: 1.250.000 ton
Website: http://www.semenbaturaja.co.id
PT.Semen Padang (Semen Padang)
Lokasi: Indarung (Sumbar)
Didirikan tanggal: 1910
Jumlah pabrik: 4
Kapasitas produksi total: 5.240.000 ton
Website: http://semenpadang.co.id
PT.Semen Gresik (Semen Gresik)
Lokasi: Gresik (Jatim)
Didirikan tanggal: 7 Agustus 1957
Jumlah pabrik:
Kapasitas produksi total: 8.520.000 ton
Website: http://www.semengresik.com
PT.Semen Bosowa (Semen Bosowa)
Lokasi: Maros, Batam
Didirikan tanggal: 1999
Jumlah pabrik: 2
Kapasitas produksi total: 3.000.000 ton
Website: http://www.bosowa.co.id
PT. Semen Andalas (Lafarge)
Lokasi: Medan (Sumut)
Didirikan tanggal: n.a
Jumlah pabrik: 1
Kapasitas produksi total: 1.800.000 ton
Website: n.a
PT.Semen Cibinong (Holcim)
Lokasi: Narogong-Cibinong (Jabar), Cilacap (Jateng)
Didirikan tanggal: 1971
Jumlah pabrik: 6
Kapasitas produksi total: 9.700.000 ton
Website: http://www.semen-cibinong.com
PT. Semen Tonasa
Lokasi: Ds Tonasa, Kab. Pangkep (Sulsel)
Didirikan tanggal: 5 Desember 1960
Jumlah pabrik: 3
Kapasitas produksi total: 3.480.000 ton
Website: http://www.sementonasa.co.id
OUTLOOK INDUSTRI SEMEN 2010
Arga Paradita Sutiyono
Pendahuluan
Di dalam kondisi negara Indonesia yang terus tumbuh saat ini di tahun 2009 dengan laju
pertumbuhan 4,3% menimbulkan segala konsekuensi terhadap pertumbuhan riil bangsa
Indonesia. Tercatat laju inflasi terus stabil yang mencapai 3,9 % YoY pada tahun 2009
sedangkan pada bulan November 2009 terjadi deflasi sebesar 0,03%. Namun suku bunga Bank
Indonesia (BI rate) cenderung tidak berubah, sementara inflasi semakin melemah. Tercatat BI
rate tetap berada pada kisaran 6,5 % sejak semester II-2009, sedangkan laju inflasi hingga
2010 diperkirakan berada disekitar 5% plus minus 1%, sehingga diperkirakan penguatan
pertumbuhan negara Indonesia hingga tahun 2010 masih akan berlanjut. Selain itu, depresiasi
dollar terhadap mata uang negara lain juga akan menguatkan investasi terhadap negaranegara
berkembang.
Fenomena pertumbuhan ekonomi negara yang terus bergerak naik serta dukungan pemerintah
terhadap iklim investasi memberikan beberapa harapan terhadap perkembangan sektor rill dan
sektor keuangan. Salah satu sektor yang cukup baik untuk dicermati adalah sektor semen yang
juga mendapat dukungan dari pemerintah berupa program kerja pemerintah terhadap
pembangunan infrastruktur negara.
Produsen dan Kapasitas Produksi
Saat ini sembilan produsen semen yang beroperasi di Indonesia yang terbagi atas 5
perusahaan milik pemerintah, yaitu Semen Gresik Group (SGG) yang menguasai sekitar 45%
pangsa pasar semen, serta 4 perusahaan lainnya milik swasta, yaitu Indocement yang
menguasai 30% pangsa pasar, Holcim Indonesia yang menguasai 15% pangsa pasar, dan
produsen semen lainnya yang terbagi atas Semen Andalas, Semen Baturaja, Semen Bosowa,
dan Semen Kupang, menguasai 10% pangsa pasar secara total. Dilihat dari penguasaan
pangsa pasar tersebut, terdapat dua pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar sebagai
market leader, yaitu SGG dan Holcim. Berdasarkan struktur pasar tersebut, pasar semen
Indonesia adalah pasar oligopoli.
Berdasarkan kapasitas produksinya, perusahaan semen swasta saat ini mempunyai kapasitas produksi yang lebih besar dibanding perusahaan semen milik negara (BUMN), yaitu mencapai 60% dari total kapasitas produksi nasional, sisanya sebesar 40% milik BUMN. Perusahaan semen yang mempunyai kapasitas produksi terbesar saat ini adalah PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk dengan kapasitas produksi sebesar 15,65 juta ton/tahun. Peringkat kedua adalah PT Holcim Indonesia Tbk dengan kapasitas terpasang 9.7 juta ton/tahun, sedangkan peringkat ketiga dikuasai oleh PT Semen Gresik Tbk dengan kapasitas produksi 8,65 juta ton/tahun.
Selanjutnya adalah PT Semen Padang dengan kapasitas produksi 5,87 juta ton/tahun dan PT.Semen Tonasa dengan kapasitas produksi 3,48 juta ton/tahun. SGG sendiri secara total memiliki kapasitas produksi terbesar, yaitu mencapai 20 juta ton/tahun. Total kapasitas produksi semen Indonesia di tahun sejak 2006 hingga 2008 tidak berubah, yaitu sebesar 46,54 juta ton/tahun. Bahkan kami estimasikan angka kapasitas produksi tersebut tidak akan berubah hingga 2011.
Kapasitas Produksi Pabrik Semen Indonesia (juta ton)
Sumber : CEIC
Realisasi produksi semen sepanjang Januari hingga September 2009 turun 5,1% menjadi 27 juta ton dibandingkan realisasi produksi semen pada periode yang sama tahun lalu sebesar 28,5 juta ton. Penurunan ini disebabkan oleh krisis global yang masih berdampak pada realisasi pembangunan di permulaan tahun 2009. Namun semakin
membaiknya perekonomian global dan Indonesia membawa kepada semakin baiknya pertumbuhan sektor riil dan konsumsi masyarakat.
Perkembangan Kapasitas dan Produksi Semen Indonesia
No. Nama Perusahaan Lokasi 2004 2005 2006 2007 2008
Perusahaan BUMN :
1 PT Semen Gresik Tuban, Jatim 8.20 8.20 8.65 8.65 8.65
2 PT Semen Padang Padang, Sumbar 5.87 5.87 5.87 5.87 5.87
3 PT Semen Tonasa Pangkep,Sulsel 3.48 3.48 3.48 3.48 3.48
4 PT Semen Baturaja ,Sumsel 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20
5 PT Semen Kupang Kupang, NTT 270.00 270.00 270.00 270.00 270.00
Total Kapasitas BUMN 17.90 18.94 18.94 19.39 19.39
Perusahaan Swasta :
1 PT Indocement Tunggal Prakarsa Citeureup & Cirebon 15.65 15.65 15.65 15.65 15.65
2 PT Holcim Citeureup, Jabar 9.70 9.70 9.70 9.70 9.70
3 PT Semen Andalas Lhok Nga, Aceh 1.40 0 0 0 ‐
4 PT Semen Nusantara *) Cilacap ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
5 PT Semen Bosowa Maros Maros, Sulsel 1.80 1.80 1.80 1.80 2.80
6 PT Indo Kodeco Cement **) Tarjun, Kalsel ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
Total Kapasitas Swasta 28.55 28.55 28.55 28.55 28.55
TOTAL INDONESIA 47.87 46.09 46.54 46.54 46.54
ASIA SECURITIES Outlook Industri Semen 2010 | 8 Desember 2010
Produksi Berdasarkan Perusahaan
Berdasarkan data produksi dari setiap produsen semen di Indonesia terlihat bahwa PT
Indocement Tungga Prakasa Tbk masih menguasai 30% total produksi nasional, kemudian
disusul oleh PT Semen Gresik Tbk dengan kontribusi sekitar 24%, dan di tempat ketiga masih dikuasai oleh PT Holcim Indonesia Tbk dengan kontribusi sebesar 15%. Namun secara kelompok SGG menjadi urutan pertama yang menguasai 47% produksisemen nasional.
Tabel 2
Produksi Semen Nasional
Tahun 2003- 2008 (’000 ton)
Tahun SGG Indocement Holcim
2003 17.899,704 5.120,331 6.431,939
2004 20.287,567 5.647,850 7.912,589
2005 20.287,567 5.647,850 7.912,589
2006 20.371,459 4.557,317 8.021,565
2007 21.580,554 5.517,564 7.868,834
2008 24.141,143 5.733,650 8.634,179
Sumber : CEIC
Konsumsi Semen Indonesia
Pertumbuhan konsumsi semen di Indonesia mulai bergeser ke luar Jawa karena proyek-proyek
infrastruktur yang menggunakan semen dalam jumlah besar di Jawa semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh pengalihan fokus pembangunan infrastruktur dari Jawa ke luar Jawa dan pemberian kewenangan pengelolaan uang dari pemerintah pusat ke daerah.
Kondisi ini disebabkan oleh meningkatnya aliran dana alokasi umum dan dana alokasi khusus ke daerah setiap tahunnya. Konsentrasi dana yang besar di daerah telah mendorong pembangunan infrastruktur ke luar Jawa sehingga permintaan atas semen meningkat.
Pertumbuhan konsumsi semen di Sumatera mencapai 14% per tahun, serta Kalimantan
mencapai 20% per tahun. Sementara pertumbuhan konsumsi semen di Jawa hanya 4% per
tahun. Mengacu pada tingkat konsumsi sebesar itu, prospek industri semen masih cerah untuk beberapa tahun ke depan. Sampai dengan akhir 2009, prediksi penjualan semen tercatat sebesar 41 juta ton, naik 1,5 % dari tahun 2008 yang mencapai 40 juta ton. Perbandingan antara realisasi produksi semen dengan kapasitas tahun 2008 mencapai 76%. Sedangkan produksi di tahun 2009 sampai dengan September mencapai 75,6% dari kapasitas terpasang .
ASIA SECURITIES Outlook Industri Semen 2010 | 8 Desember 2009
Penjualan Semen Nasional 2004-2009 (’000 ton)
Sumber : CEIC
Permintaan Semen Luar Negeri
Pada perkembangannya, ekspor semen dari Indonesia mengalami banyak kesulitan karena
ketatnya kompetisi dari negara-negara lain, seperti China, begitu pula dengan harganya yang tertekan, sehinga kebanyakan produsen semen di Indoesia lebih berorientasi kepada pasar dalam negeri.
Selain itu, pertumbuhan pembangunan infrastruktur dan property di Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya berpotensi meningkatkan laju penjualan semen. Apalagi disaat harga minyak dunia yang cenderung naik, menyebabkan biaya distribusi tujuan ekspor semakin tinggi.
Perkembangan Ekspor Semen dan Clinker Indonesia
Tahun Clinker Semen Total Pertumbuhan
(‘000 Ton) (‘000 Ton) (‘000 Ton) (%)
2000 4.903 43.470 48.373 ‐6,60%
2001 5.750 43.780 49.530 2,39%
2002 3.791 44.425 48.216 ‐2,65%
2003 3.073 44.425 47.498 ‐1,49%
2004 3.289 42.690 45.979 ‐3,20%
2005 3.289 42.690 45.979 0,00%
2006 2.245 40.730 42.975 ‐6,53%
2007 2.929 40.730 43.659 1,59%
2008 1.641 40.730 42.371 ‐2,95%
Sumber : CEIC
Outlook Industri Semen
• Dukungan pemerintah terhadap program pengembangan infrastruktur dimana peluang
pertumbuhan infrastruktur adalah 3% dari PDB untuk tahun 2010 hingga 2014.
• Bahan baku yang masih mencukupi, karena beberapa lokasi bahan baku kapur dan
Gamping masih tersebar luas di seluruh daerah Indonesia.
• Peningkatan konsumsi semen yang terus naik setiap tahun dengan laju pertumbuhan
permintaan 7-8% per tahun. Pertumbuhan permintaan Kalimantan dan Sumetra naik
15-18% setiap tahun.
• Harga semen naik 14% dari tahun 2008.
• Peningkatan kapasitas produksi semua produsen semen karena dalam 5 tahun terakhir
kapasitas pabrik semen akan mengalami full capacity.
Portland Cement
The properties of concrete depend on the quantities and qualities of its components. Because cement is the most active component of concrete and usually has the greatest unit cost, its selection and proper use are important in obtaining most economically the balance of properties desired for any particular concrete mixture.
Type I/II portland cements, which can provide adequate levels of strength and durability, are the most popular cements used by concrete producers. However, some applications require the use of other cements to provide higher levels of properties. The need for high-early strength cements in pavement repairs and the use of blended cements with aggregates susceptible to alkali-aggregate reactions are examples of such applications.
It is essential that highway engineers select the type of cement that will obtain the best performance from the concrete. This choice involves the correct knowledge of the relationship between cement and performance and, in particular, between type of cement and durability of concrete.
Portland Cement (ASTM Types)
ASTM C 150 defines portland cement as "hydraulic cement (cement that not only hardens by reacting with water but also forms a water-resistant product) produced by pulverizing clinkers consisting essentially of hydraulic calcium silicates, usually containing one or more of the forms of calcium sulfate as an inter ground addition." Clinkers are nodules (diameters, 0.2-1.0 inch [5-25 mm]) of a sintered material that is produced when a raw mixture of predetermined composition is heated to high temperature. The low cost and widespread availability of the limestone, shales, and other naturally occurring materials make portland cement one of the lowest-cost materials widely used over the last century throughout the world. Concrete becomes one of the most versatile construction materials available in the world.
The manufacture and composition of portland cements, hydration processes, and chemical and physical properties have been repeatedly studied and researched, with innumerable reports and papers written on all aspects of these properties.
Types of Portland Cement.
Different types of portland cement are manufactured to meet different physical and chemical requirements for specific purposes, such as durability and high-early strength. Eight types of cement are covered in ASTM C 150 and AASHTO M 85. These types and brief descriptions of their uses are listed in Table 2.1.
More than 92% of portland cement produced in the United States is Type I and II (or Type I/II); Type III accounts for about 3.5% of cement production (U.S. Dept. Int. 1989). Type IV cement is only available on special request, and Type V may also be difficult to obtain (less than 0.5% of production).
Although IA, IIA, and IIIA (air-entraining cements) are available as options, concrete producers prefer to use an air-entraining admixture during concrete manufacture, where they can get better control in obtaining the desired air content. However, this kind of cements can be useful under conditions in which quality control is poor, particularly when no means of measuring the air content of fresh concrete is available (ACI Comm. 225R 1985; Nat. Mat. Ad. Board 1987).
If a given type of cement is not available, comparable results can frequently be obtained by using modifications of available types. High-early strength concrete, for example, can be made by using a higher content of Type I when Type III cement is not available (Nat. Mat. Ad. Board 1987), or by using admixtures such as chemical accelerators or high-range water reducers (HRWR). The availability of portland cements will be affected for years to come by energy and pollution requirements. In fact, the increased attention to pollution abatement and energy conservation has already greatly influenced the cement industry, especially in the production of low-alkali cements. Using high-alkali raw materials in the manufacture of low-alkali cement requires bypass systems to avoid concentrating alkali in the clinkers, which consumes more energy (Energetics, Inc. 1988). It is estimated that 4% of energy used by the cement industry could be saved by relaxing alkali specifications. Limiting use of low-alkali cement to cases in which alkali-reactive aggregates are used could lead to significant improvement in energy efficiency (Energetics, Inc. 1988).
Table 1.1 Portland cement types and their uses.
Cement type Use
I1 General purpose cement, when there are no extenuating conditions
II2 Aids in providing moderate resistance to sulfate attack
III When high-early strength is required
IV3 When a low heat of hydration is desired (in massive structures)
V4 When high sulfate resistance is required
IA4 A type I cement containing an integral air-entraining agent
IIA4 A type II cement containing an integral air-entraining agent
IIIA4 A type III cement containing an integral air-entraining agent
1 Cements that simultaneously meet requirements of Type I and Type II are also widely available.
2 Type II low alkali (total alkali as Na2O < 0.6%) is often specified in regions where aggregates susceptible to alkali-silica reactivity are employed.
3 Type IV cements are only available on special request.
4 These cements are in limited production and not widely available.
Cement Composition. The composition of portland cements is what distinguishes one type of cement from another. ASTM C 150 and AASHTO M 85 present the standard chemical requirements for each type. The phase compositions in portland cement are denoted by ASTM as tricalcium silicate (C3S), dicalcium silicate (C2S), tricalcium aluminate (C3A), and tetracalcium aluminoferrite (C4AF). However, it should be noted that these compositions would occur at a phase equilibrium of all components in the mix and do not reflect effects of burn temperatures, quenching, oxygen availability, and other real-world kiln conditions. The actual components are often complex chemical crystalline and amorphous structures, denoted by cement chemists as "elite" (C3S), "belite" (C2S), and various forms of aluminates. The behavior of each type of cement depends on the content of these components. Characterization of these compounds, their hydration, and their influence on the behavior of cements are presented in full detail in many texts. Some of the most complete references dealing with the chemistry of cement include those written by Bogue (1955), Taylor (1964), and Lea (1970). Different analytical techniques such as x-ray diffraction and analytical electron microscopy are used by researchers in order to understand fully the reaction of cement with water (hydration process) and to improve its properties.
In simplest terms, results of these studies have shown that early hydration of cement is principally controlled by the amount and activity of C3A, balanced by the amount and type of sulfate interground with the cement. C3A hydrates very rapidly and will influence early bonding characteristics. Abnormal hydration of (C3A) and poor control of this hydration by sulfate can lead to such problems as flash set, false set, slump loss, and cement-admixture incompatibility (Previte 1977; Whiting 1981; Meyer and Perenchio 1979).
Development of the internal structure of hydrated cement (referred to by many researchers as the microstructure) occurs after the concrete has set and continues for months (and even years) after placement. The microstructure of the cement hydrates will determine the mechanical behavior and durability of the concrete. In terms of cement composition, the C3S and C2S will have the primary influence on long term development of structure, although aluminates may contribute to formation of compounds such as ettringite (sulfoaluminate hydrate), which can cause expansive disruption of concrete. Cements high in C3S (especially those that are finely ground) will hydrate more rapidly and lead to higher early strength. However, the hydration products formed will, in effect, make it more difficult for hydration to proceed at later ages, leading to an ultimate strength lower than desired in some cases. Cements high in C2S will hydrate much more slowly, leading to a denser ultimate structure and a higher long-term strength. The relative ratio of C3S to C2S, and the overall fineness of cements, has been steadily increasing over the past few decades. Indeed, Pomeroy (1989) notes that early strengths achievable today in concrete could not have been achieved in the past except at very low water-to-cement ratios (w/c's), which would have rendered concretes unworkable in the absence of HRWR. This ability to achieve desired strengths at a higher workability (and hence a higher w/c) may account for many durability problems, as it is now established that higher w/c invariably leads to higher permeability in the concrete (Ruettgers, Vidal, and Wing 1935; Whiting, 1988).
One of the major aspects of cement chemistry that concern cement users is the influence of chemical admixtures on portland cement. Since the early 1960s most states have permitted or required the use of water-reducing and other admixtures in highway pavements and structures (Mielenz 1984). A wide variety of chemical admixtures have been introduced to the concrete industry over the last three decades, and engineers are increasingly concerned about the positive and negative effects of these admixtures on cement and concrete performance.
Considerable research dealing with admixtures has been conducted in the United States. Air-entraining agents are widely used in the highway industry in North America, where concrete will be subjected to repeated freeze-thaw cycles. Air-entraining agents have no appreciable effect on the rate of hydration of cement or on the chemical composition of hydration products (Ramachandran and Feldman 1984). However, an increase in cement fineness or a decrease in cement alkali content generally increases the amount of an admixture required for a given air content (ACI Comm. 225R 1985). Water reducers or retarders influence cement compounds and their hydration. Lignosulfonate-based admixtures affect the hydration of C3A, which controls the setting and early hydration of cement. C3S and C4AF hydration is also influenced by water reducers (Ramachandran and Feldman 1984).
Test results presented by Polivka and Klein (1960) showed that alkali and C3A contents influence the required admixtures to achieve the desired mix. It appears that set retarders, for example, are more effective with cement of low alkali and low C3A content, and that water reducers seem to improve the compressive strength of concrete containing cements of low alkali content more than that of the concrete containing cements of high alkali content.
Physical Properties of Portland Cements. ASTM C 150 and AASHTO M 85 have specified certain physical requirements for each type of cement. These properties include 1) fineness, 2) soundness, 3) consistency, 4) setting time, 5) compressive strength, 6) heat of hydration, 7) specific gravity, and 8) loss of ignition. Each one of these properties has an influence on the performance of cement in concrete. The fineness of the cement, for example, affects the rate of hydration. Greater fineness increases the surface available for hydration, causing greater early strength and more rapid generation of heat (the fineness of Type III is higher than that of Type I cement) (U.S. Dept. Trans. 1990).
ASTM C 150 and AASHTO M 85 specifications are similar except with regard to fineness of cement. AASHTO M 85 requires coarser cement, which will result in higher ultimate strengths and lower early-strength gain. The Wagner Turbidimeter and the Blaine air permeability test for measuring cement fineness are both required by the American Society for Testing Materials (ASTM) and the American Association for State Highway Transportation Officials (AASHTO). Average Blaine fineness of modern cement ranges from 3,000 to 5,000 cm2/g (300 to 500 m2/kg).
Soundness, which is the ability of hardened cement paste to retain its volume after setting, can be characterized by measuring the expansion of mortar bars in an autoclave (ASTM C 191, AASHTO T 130). The compressive strength of 2-inch (50-mm) mortar cubes after 7 days (as measured by ASTM C 109) should not be less than 2,800 psi (19.3 MPa) for Type I cement. Other physical properties included in both ASTM C 150 and AASHTO M 95 are specific gravity and false set. False set is a significant loss of plasticity shortly after mixing due to the formation of gypsum or the formation of ettringite after mixing. In many cases, workability can be restored by remixing concrete before it is cast.
Influence of Portland Cement on Concrete Properties. Effects of cement on the most important concrete properties are presented in Table 1.2.
Cement composition and fineness play a major role in controlling concrete properties. Fineness of cement affects the placeability, workability, and water content of a concrete mixture much like the amount of cement used in concrete does.
Cement composition affects the permeability of concrete by controlling the rate of hydration. However, the ultimate porosity and permeability are unaffected (ACI Comm. 225R 1985; Powers et al. 1954). The coarse cement tends to produce pastes with higher porosity than that produced by finer cement (Powers et al. 1954). Cement composition has only a minor effect on freeze-thaw resistance. Corrosion of embedded steel has been related to C3A content (Verbeck 1968). The higher the C3A, the more chloride can be tied into chloroaluminate complexes—and thereby be unavailable for catalysis of the corrosion process.
Table 1.2. Effects of cements on concrete properties.
Cement Property Cement Effects
Placeability Cement amount, fineness, setting characteristics
Strength Cement composition (C3S, C2S and C3A), loss on ignition, fineness
Drying Shrinkage SO3content, cement composition
Permeability Cement composition, fineness
Resistance to sulfate C3A content
Alkali Silica Reactivity Alkali content
Corrosion of embedded steel Cement Composition (esp. C3A content)
Storage of Cement. Portland cement is a moisture-sensitive material; if kept dry, it will retain its quality indefinitely. When stored in contact with damp air or moisture, portland cement will set more slowly and has less strength than portland cement that is kept dry. When storing bagged cement, a shaded area or warehouse is preferred. Cracks and openings in storehouses should be closed. When storing bagged cement outdoors, it should be stacked on pallets and covered with a waterproof covering.
Storage of bulk cement should be in a watertight bin or silo. Transportation should be in vehicles with watertight, properly sealed lids. Cement stored for long periods of time should be tested for strength and loss on ignition.
Cement Certification. The current trend in state transportation departments is to accept certification by the cement producer that the cement complies with specifications. Verifications tests are taken by the state DOT to continually monitor specification compliance. The cement producer has a variety of information available from production records and quality control records that may permit certification of conformance without much, if any, additional testing of the product as it is shipped (ACI Comm. 225R 1985).
Blended Portland Cements
Blended cement, as defined in ASTM C 595, is a mixture of portland cement and blast furnace slag (BFS) or a "mixture of portland cement and a pozzolan (most commonly fly ash)."
The use of blended cements in concrete reduces mixing water and bleeding, improves finishability and workability, enhances sulfate resistance, inhibits the alkali-aggregate reaction, and lessens heat evolution during hydration, thus moderating the chances for thermal cracking on cooling.
Blended cement types and blended ratios are presented in Table 1.3.
Table 1.3 Blended cement types and blended ratios.
Type Blended Ingredients
IP 15-40% by weight of pozzolan (fly ash)
I(PM) 0-15% by weight of Pozzolan (fly ash)
(modified)
P 15-40% by weitht of pozzolan (fly ash)
IS 25-70% by weight of blast furnace slag
I(SM) 0-25% by weight of blast furnace slag
(modified)
S 70-100% by weight of blast furnace slag
The advantages to using mineral admixtures added at the batch plant (Popoff 1991; Massazza 1987).
* Mineral admixture replacement levels can be modified on a day-to-day and job-to-job basis to suit project specifications and needs.
* Cost can be decreased substantially while performance is increased (taking into consideration the fact that the price of blended cement is at least 10% higher than that of Type I/II cement [U.S. Dept. Int. 1989]).
* GGBFS can be ground to its optimum fineness.
* Concrete producers can provide specialty concretes in the concrete product markets.
At the same time, several precautions must be considered when mineral admixtures are added at the batch plant.
* Separate silos are required to store the different hydraulic materials (cements, pozzolans, slags). This might slightly increase the initial capital cost of the plant.
* There is a need to monitor variability in the properties of the cementitious materials, often enough to enable operators to adjust mixtures or obtain alternate materials if problems arise.
* Possibilities of cross-contamination or batching errors are increased as the number of materials that must be stocked and controlled is increased.
Modified Portland Cement (Expansive Cement)
Expansive cement, as well as expansive components, is a cement containing hydraulic calcium silicates (such as those characteristic of portland cement) that, upon being mixed with water, forms a paste, that during the early hydrating period occurring after setting, increases in volume significantly more than does portland cement paste. Expansive cement is used to compensate for volume decrease due to shrinkage and to induce tensile stress in reinforcement.
Expansive cement concrete used to minimize cracking caused by drying shrinkage in concrete slabs, pavements, and structures is termed shrinkage-compensating concrete.
Self-stressing concrete is another expansive cement concrete in which the expansion, if restrained, will induce a compressive stress high enough to result in a significant residual compression in the concrete after drying shrinkage has occurred.
Types of Expansive Cements. Three kinds of expansive cement are defined in ASTM C 845.
* Type K: Contains anhydrous calcium aluminate
* Type M: Contains calcium aluminate and calcium sulfate
* Type S: Contains tricalcium aluminate and calcium sulfate
Only Type K is used in any significant amount in the United States.
Concrete placed in an environment where it begins to dry and lose moisture will begin to shrink. The amount of drying shrinkage that occurs in concrete depends on the characteristics of the materials, mixture proportions, and placing methods. When pavements or other structural members are restrained by subgrade friction, reinforcement, or other portions of the structure, drying shrinkage will induce tensile stresses. These drying shrinkage stresses usually exceed the concrete tensile strengths, causing cracking. The advantage of using expansive cements is to induce stresses large enough to compensate for drying shrinkage stresses and minimize cracking (ACI Comm. 223 1983; Hoff et al. 1977).
Physical and mechanical properties of shrinkage compensating concrete are similar to those of portland cement concrete (PCC). Tensile, flexural, and compressive strengths are comparable to those in PCC. Air-entraining admixtures are as effective with shrinkage-compensating concrete as with portland cement in improving freeze-thaw durability.
Some water-reducing admixtures may be incompatible with expansive cement. Type A water-reducing admixture, for example, may increase the slump loss of shrinkage- compensating concrete (Call 1979). Fly ash and other pozzolans may affect expansion and may also influence strength development and other physical properties.
Structural design considerations and mix proportioning and construction procedures are available in ACI 223-83 (ACI Comm. 223 1983). This report contains several examples of using expansive cements in pavements.
In Japan, admixtures containing expansive compounds are used instead of expansive cements. Tsuji and Miyake (1988) described using expansive admixtures in building chemically prestressed precast concrete box culverts. Bending characteristics of chemically prestressed concrete box culverts were identical to those of reinforced concrete units of greater thickness (Tsuji and Miyake 1988). Expansive compounds are also available in the United States. They can be added to the mix in a way similar to how fly ash is added to concrete mixes.
Type I/II portland cements, which can provide adequate levels of strength and durability, are the most popular cements used by concrete producers. However, some applications require the use of other cements to provide higher levels of properties. The need for high-early strength cements in pavement repairs and the use of blended cements with aggregates susceptible to alkali-aggregate reactions are examples of such applications.
It is essential that highway engineers select the type of cement that will obtain the best performance from the concrete. This choice involves the correct knowledge of the relationship between cement and performance and, in particular, between type of cement and durability of concrete.
Portland Cement (ASTM Types)
ASTM C 150 defines portland cement as "hydraulic cement (cement that not only hardens by reacting with water but also forms a water-resistant product) produced by pulverizing clinkers consisting essentially of hydraulic calcium silicates, usually containing one or more of the forms of calcium sulfate as an inter ground addition." Clinkers are nodules (diameters, 0.2-1.0 inch [5-25 mm]) of a sintered material that is produced when a raw mixture of predetermined composition is heated to high temperature. The low cost and widespread availability of the limestone, shales, and other naturally occurring materials make portland cement one of the lowest-cost materials widely used over the last century throughout the world. Concrete becomes one of the most versatile construction materials available in the world.
The manufacture and composition of portland cements, hydration processes, and chemical and physical properties have been repeatedly studied and researched, with innumerable reports and papers written on all aspects of these properties.
Types of Portland Cement.
Different types of portland cement are manufactured to meet different physical and chemical requirements for specific purposes, such as durability and high-early strength. Eight types of cement are covered in ASTM C 150 and AASHTO M 85. These types and brief descriptions of their uses are listed in Table 2.1.
More than 92% of portland cement produced in the United States is Type I and II (or Type I/II); Type III accounts for about 3.5% of cement production (U.S. Dept. Int. 1989). Type IV cement is only available on special request, and Type V may also be difficult to obtain (less than 0.5% of production).
Although IA, IIA, and IIIA (air-entraining cements) are available as options, concrete producers prefer to use an air-entraining admixture during concrete manufacture, where they can get better control in obtaining the desired air content. However, this kind of cements can be useful under conditions in which quality control is poor, particularly when no means of measuring the air content of fresh concrete is available (ACI Comm. 225R 1985; Nat. Mat. Ad. Board 1987).
If a given type of cement is not available, comparable results can frequently be obtained by using modifications of available types. High-early strength concrete, for example, can be made by using a higher content of Type I when Type III cement is not available (Nat. Mat. Ad. Board 1987), or by using admixtures such as chemical accelerators or high-range water reducers (HRWR). The availability of portland cements will be affected for years to come by energy and pollution requirements. In fact, the increased attention to pollution abatement and energy conservation has already greatly influenced the cement industry, especially in the production of low-alkali cements. Using high-alkali raw materials in the manufacture of low-alkali cement requires bypass systems to avoid concentrating alkali in the clinkers, which consumes more energy (Energetics, Inc. 1988). It is estimated that 4% of energy used by the cement industry could be saved by relaxing alkali specifications. Limiting use of low-alkali cement to cases in which alkali-reactive aggregates are used could lead to significant improvement in energy efficiency (Energetics, Inc. 1988).
Table 1.1 Portland cement types and their uses.
Cement type Use
I1 General purpose cement, when there are no extenuating conditions
II2 Aids in providing moderate resistance to sulfate attack
III When high-early strength is required
IV3 When a low heat of hydration is desired (in massive structures)
V4 When high sulfate resistance is required
IA4 A type I cement containing an integral air-entraining agent
IIA4 A type II cement containing an integral air-entraining agent
IIIA4 A type III cement containing an integral air-entraining agent
1 Cements that simultaneously meet requirements of Type I and Type II are also widely available.
2 Type II low alkali (total alkali as Na2O < 0.6%) is often specified in regions where aggregates susceptible to alkali-silica reactivity are employed.
3 Type IV cements are only available on special request.
4 These cements are in limited production and not widely available.
Cement Composition. The composition of portland cements is what distinguishes one type of cement from another. ASTM C 150 and AASHTO M 85 present the standard chemical requirements for each type. The phase compositions in portland cement are denoted by ASTM as tricalcium silicate (C3S), dicalcium silicate (C2S), tricalcium aluminate (C3A), and tetracalcium aluminoferrite (C4AF). However, it should be noted that these compositions would occur at a phase equilibrium of all components in the mix and do not reflect effects of burn temperatures, quenching, oxygen availability, and other real-world kiln conditions. The actual components are often complex chemical crystalline and amorphous structures, denoted by cement chemists as "elite" (C3S), "belite" (C2S), and various forms of aluminates. The behavior of each type of cement depends on the content of these components. Characterization of these compounds, their hydration, and their influence on the behavior of cements are presented in full detail in many texts. Some of the most complete references dealing with the chemistry of cement include those written by Bogue (1955), Taylor (1964), and Lea (1970). Different analytical techniques such as x-ray diffraction and analytical electron microscopy are used by researchers in order to understand fully the reaction of cement with water (hydration process) and to improve its properties.
In simplest terms, results of these studies have shown that early hydration of cement is principally controlled by the amount and activity of C3A, balanced by the amount and type of sulfate interground with the cement. C3A hydrates very rapidly and will influence early bonding characteristics. Abnormal hydration of (C3A) and poor control of this hydration by sulfate can lead to such problems as flash set, false set, slump loss, and cement-admixture incompatibility (Previte 1977; Whiting 1981; Meyer and Perenchio 1979).
Development of the internal structure of hydrated cement (referred to by many researchers as the microstructure) occurs after the concrete has set and continues for months (and even years) after placement. The microstructure of the cement hydrates will determine the mechanical behavior and durability of the concrete. In terms of cement composition, the C3S and C2S will have the primary influence on long term development of structure, although aluminates may contribute to formation of compounds such as ettringite (sulfoaluminate hydrate), which can cause expansive disruption of concrete. Cements high in C3S (especially those that are finely ground) will hydrate more rapidly and lead to higher early strength. However, the hydration products formed will, in effect, make it more difficult for hydration to proceed at later ages, leading to an ultimate strength lower than desired in some cases. Cements high in C2S will hydrate much more slowly, leading to a denser ultimate structure and a higher long-term strength. The relative ratio of C3S to C2S, and the overall fineness of cements, has been steadily increasing over the past few decades. Indeed, Pomeroy (1989) notes that early strengths achievable today in concrete could not have been achieved in the past except at very low water-to-cement ratios (w/c's), which would have rendered concretes unworkable in the absence of HRWR. This ability to achieve desired strengths at a higher workability (and hence a higher w/c) may account for many durability problems, as it is now established that higher w/c invariably leads to higher permeability in the concrete (Ruettgers, Vidal, and Wing 1935; Whiting, 1988).
One of the major aspects of cement chemistry that concern cement users is the influence of chemical admixtures on portland cement. Since the early 1960s most states have permitted or required the use of water-reducing and other admixtures in highway pavements and structures (Mielenz 1984). A wide variety of chemical admixtures have been introduced to the concrete industry over the last three decades, and engineers are increasingly concerned about the positive and negative effects of these admixtures on cement and concrete performance.
Considerable research dealing with admixtures has been conducted in the United States. Air-entraining agents are widely used in the highway industry in North America, where concrete will be subjected to repeated freeze-thaw cycles. Air-entraining agents have no appreciable effect on the rate of hydration of cement or on the chemical composition of hydration products (Ramachandran and Feldman 1984). However, an increase in cement fineness or a decrease in cement alkali content generally increases the amount of an admixture required for a given air content (ACI Comm. 225R 1985). Water reducers or retarders influence cement compounds and their hydration. Lignosulfonate-based admixtures affect the hydration of C3A, which controls the setting and early hydration of cement. C3S and C4AF hydration is also influenced by water reducers (Ramachandran and Feldman 1984).
Test results presented by Polivka and Klein (1960) showed that alkali and C3A contents influence the required admixtures to achieve the desired mix. It appears that set retarders, for example, are more effective with cement of low alkali and low C3A content, and that water reducers seem to improve the compressive strength of concrete containing cements of low alkali content more than that of the concrete containing cements of high alkali content.
Physical Properties of Portland Cements. ASTM C 150 and AASHTO M 85 have specified certain physical requirements for each type of cement. These properties include 1) fineness, 2) soundness, 3) consistency, 4) setting time, 5) compressive strength, 6) heat of hydration, 7) specific gravity, and 8) loss of ignition. Each one of these properties has an influence on the performance of cement in concrete. The fineness of the cement, for example, affects the rate of hydration. Greater fineness increases the surface available for hydration, causing greater early strength and more rapid generation of heat (the fineness of Type III is higher than that of Type I cement) (U.S. Dept. Trans. 1990).
ASTM C 150 and AASHTO M 85 specifications are similar except with regard to fineness of cement. AASHTO M 85 requires coarser cement, which will result in higher ultimate strengths and lower early-strength gain. The Wagner Turbidimeter and the Blaine air permeability test for measuring cement fineness are both required by the American Society for Testing Materials (ASTM) and the American Association for State Highway Transportation Officials (AASHTO). Average Blaine fineness of modern cement ranges from 3,000 to 5,000 cm2/g (300 to 500 m2/kg).
Soundness, which is the ability of hardened cement paste to retain its volume after setting, can be characterized by measuring the expansion of mortar bars in an autoclave (ASTM C 191, AASHTO T 130). The compressive strength of 2-inch (50-mm) mortar cubes after 7 days (as measured by ASTM C 109) should not be less than 2,800 psi (19.3 MPa) for Type I cement. Other physical properties included in both ASTM C 150 and AASHTO M 95 are specific gravity and false set. False set is a significant loss of plasticity shortly after mixing due to the formation of gypsum or the formation of ettringite after mixing. In many cases, workability can be restored by remixing concrete before it is cast.
Influence of Portland Cement on Concrete Properties. Effects of cement on the most important concrete properties are presented in Table 1.2.
Cement composition and fineness play a major role in controlling concrete properties. Fineness of cement affects the placeability, workability, and water content of a concrete mixture much like the amount of cement used in concrete does.
Cement composition affects the permeability of concrete by controlling the rate of hydration. However, the ultimate porosity and permeability are unaffected (ACI Comm. 225R 1985; Powers et al. 1954). The coarse cement tends to produce pastes with higher porosity than that produced by finer cement (Powers et al. 1954). Cement composition has only a minor effect on freeze-thaw resistance. Corrosion of embedded steel has been related to C3A content (Verbeck 1968). The higher the C3A, the more chloride can be tied into chloroaluminate complexes—and thereby be unavailable for catalysis of the corrosion process.
Table 1.2. Effects of cements on concrete properties.
Cement Property Cement Effects
Placeability Cement amount, fineness, setting characteristics
Strength Cement composition (C3S, C2S and C3A), loss on ignition, fineness
Drying Shrinkage SO3content, cement composition
Permeability Cement composition, fineness
Resistance to sulfate C3A content
Alkali Silica Reactivity Alkali content
Corrosion of embedded steel Cement Composition (esp. C3A content)
Storage of Cement. Portland cement is a moisture-sensitive material; if kept dry, it will retain its quality indefinitely. When stored in contact with damp air or moisture, portland cement will set more slowly and has less strength than portland cement that is kept dry. When storing bagged cement, a shaded area or warehouse is preferred. Cracks and openings in storehouses should be closed. When storing bagged cement outdoors, it should be stacked on pallets and covered with a waterproof covering.
Storage of bulk cement should be in a watertight bin or silo. Transportation should be in vehicles with watertight, properly sealed lids. Cement stored for long periods of time should be tested for strength and loss on ignition.
Cement Certification. The current trend in state transportation departments is to accept certification by the cement producer that the cement complies with specifications. Verifications tests are taken by the state DOT to continually monitor specification compliance. The cement producer has a variety of information available from production records and quality control records that may permit certification of conformance without much, if any, additional testing of the product as it is shipped (ACI Comm. 225R 1985).
Blended Portland Cements
Blended cement, as defined in ASTM C 595, is a mixture of portland cement and blast furnace slag (BFS) or a "mixture of portland cement and a pozzolan (most commonly fly ash)."
The use of blended cements in concrete reduces mixing water and bleeding, improves finishability and workability, enhances sulfate resistance, inhibits the alkali-aggregate reaction, and lessens heat evolution during hydration, thus moderating the chances for thermal cracking on cooling.
Blended cement types and blended ratios are presented in Table 1.3.
Table 1.3 Blended cement types and blended ratios.
Type Blended Ingredients
IP 15-40% by weight of pozzolan (fly ash)
I(PM) 0-15% by weight of Pozzolan (fly ash)
(modified)
P 15-40% by weitht of pozzolan (fly ash)
IS 25-70% by weight of blast furnace slag
I(SM) 0-25% by weight of blast furnace slag
(modified)
S 70-100% by weight of blast furnace slag
The advantages to using mineral admixtures added at the batch plant (Popoff 1991; Massazza 1987).
* Mineral admixture replacement levels can be modified on a day-to-day and job-to-job basis to suit project specifications and needs.
* Cost can be decreased substantially while performance is increased (taking into consideration the fact that the price of blended cement is at least 10% higher than that of Type I/II cement [U.S. Dept. Int. 1989]).
* GGBFS can be ground to its optimum fineness.
* Concrete producers can provide specialty concretes in the concrete product markets.
At the same time, several precautions must be considered when mineral admixtures are added at the batch plant.
* Separate silos are required to store the different hydraulic materials (cements, pozzolans, slags). This might slightly increase the initial capital cost of the plant.
* There is a need to monitor variability in the properties of the cementitious materials, often enough to enable operators to adjust mixtures or obtain alternate materials if problems arise.
* Possibilities of cross-contamination or batching errors are increased as the number of materials that must be stocked and controlled is increased.
Modified Portland Cement (Expansive Cement)
Expansive cement, as well as expansive components, is a cement containing hydraulic calcium silicates (such as those characteristic of portland cement) that, upon being mixed with water, forms a paste, that during the early hydrating period occurring after setting, increases in volume significantly more than does portland cement paste. Expansive cement is used to compensate for volume decrease due to shrinkage and to induce tensile stress in reinforcement.
Expansive cement concrete used to minimize cracking caused by drying shrinkage in concrete slabs, pavements, and structures is termed shrinkage-compensating concrete.
Self-stressing concrete is another expansive cement concrete in which the expansion, if restrained, will induce a compressive stress high enough to result in a significant residual compression in the concrete after drying shrinkage has occurred.
Types of Expansive Cements. Three kinds of expansive cement are defined in ASTM C 845.
* Type K: Contains anhydrous calcium aluminate
* Type M: Contains calcium aluminate and calcium sulfate
* Type S: Contains tricalcium aluminate and calcium sulfate
Only Type K is used in any significant amount in the United States.
Concrete placed in an environment where it begins to dry and lose moisture will begin to shrink. The amount of drying shrinkage that occurs in concrete depends on the characteristics of the materials, mixture proportions, and placing methods. When pavements or other structural members are restrained by subgrade friction, reinforcement, or other portions of the structure, drying shrinkage will induce tensile stresses. These drying shrinkage stresses usually exceed the concrete tensile strengths, causing cracking. The advantage of using expansive cements is to induce stresses large enough to compensate for drying shrinkage stresses and minimize cracking (ACI Comm. 223 1983; Hoff et al. 1977).
Physical and mechanical properties of shrinkage compensating concrete are similar to those of portland cement concrete (PCC). Tensile, flexural, and compressive strengths are comparable to those in PCC. Air-entraining admixtures are as effective with shrinkage-compensating concrete as with portland cement in improving freeze-thaw durability.
Some water-reducing admixtures may be incompatible with expansive cement. Type A water-reducing admixture, for example, may increase the slump loss of shrinkage- compensating concrete (Call 1979). Fly ash and other pozzolans may affect expansion and may also influence strength development and other physical properties.
Structural design considerations and mix proportioning and construction procedures are available in ACI 223-83 (ACI Comm. 223 1983). This report contains several examples of using expansive cements in pavements.
In Japan, admixtures containing expansive compounds are used instead of expansive cements. Tsuji and Miyake (1988) described using expansive admixtures in building chemically prestressed precast concrete box culverts. Bending characteristics of chemically prestressed concrete box culverts were identical to those of reinforced concrete units of greater thickness (Tsuji and Miyake 1988). Expansive compounds are also available in the United States. They can be added to the mix in a way similar to how fly ash is added to concrete mixes.
History of Portland Cement
In 1824, Joseph Aspdin, a British stone mason, obtained a patent for a cement he produced in his kitchen. The inventor heated a mixture of finely ground limestone and clay in his kitchen stove and ground the mixture into a powder create a hydraulic cement-one that hardens with the addition of water. Aspdin named the product portland cement because it resembled a stone quarried on the Isle of Portland off the British Coast. With this invention, Aspdin laid the foundation for today's portland cement industry.
Manufacturing Process
Portland cement, the fundamental ingredient in concrete, is a calcium silicate cement made with a combination of calcium, silicon, aluminum, and iron. Producing a cement that meets specific chemical and physical specifications requires careful control of the manufacturing process. The first step in the portland cement manufacturing process is obtaining raw materials. Generally, raw materials consisting of combinations of limestone, shells or chalk, and shale, clay, sand, or iron ore are mined from a quarry near the plant. At the quarry, the raw materials are reduced by primary and secondary crushers. Stone is first reduced to 5-inch size (125-mm), then to 3/4-inch(19 mm). Once the raw materials arrive at the cement plant, the materials are proportioned to create a cement with a specific chemical composition. Two different methods, dry and wet, are used to manufacture portland cement. In the dry process, dry raw materials are proportioned, ground to a powder, blended together and fed to the kiln in a dry state. In the wet process, a slurry is formed by adding water to the properly proportioned raw materials. The grinding and blending operations are then completed with the materials in slurry form. After blending, the mixture of raw materials is fed into the upper end of a tilted rotating, cylindrical kiln. The mixture passes through the kiln at a rate controlled by the slope and rotational speed of the kiln. Burning fuel consisting of powdered coal or natural gas is forced into the lower end of the kiln. Inside the kiln, raw materials reach temperatures of 2600ÞF to 3000ÞF (1430ÞC to 1650ÞC). At 2700ÞF (1480ÞC), a series of chemical reactions cause the materials to fuse and create cement clinker-grayish-black pellets, often the size of marbles. Clinker is discharged red-hot from the lower end of the kiln and transferred to various types of coolers to lower the clinker to handling temperatures. Cooled clinker is combined with gypsum and ground into a fine gray powder. The clinker is ground so fine that nearly all of it passes through a No. 200 mesh (75 micron) sieve. This fine gray powder is portland cement.
Types of Portland Cement
Different types of portland cement are manufactured to meet various physical and chemical requirements. The American Society for Testing and Materials (ASTM) Specification C-150 provides for eight types of portland cement.Type I portland cement is a normal, general-purpose cement suitable for all uses. It is used in general construction projects such as buildings, bridges, floors, pavements, and other precast concrete products. Type IA portland cement is similar to Type I with the addition of air-entraining properties. Type II portland cement generates less heat at a slower rate and has a moderate resistance to sulfate attack. Type IIA portland cement is identical to Type II and produces air-entrained concrete. Type III portland cement is a high-early-strength cement and causes concrete to set and gain strength rapidly. Type III is chemically and physically similar to Type I, except that its particles have been ground finer. Type IIIA is an air-entraining, high-early-strength cement. Type IV portland cement has a low heat of hydration and develops strength at a slower rate than other cement types, making it ideal for use in dams and other massive concrete structures where there is little chance for heat to escape. Type V portland cement is used only in concrete structures that will be exposed to severe sulfate action, principally where concrete is exposed to soil and groundwater with a high sulfate content.
Portland cements can also be made to ASTM C1157 and include the following: Type GU hydraulic cement for general construction, Type HE-high-early-strength cement, Type MS-moderate sulfate resistant cement, Type HS-high sulfate resistant cement, Type MH-moderate heat of hydration cement, and Type LH-low heat of hydration cement. These cements can also be designated for low reactivity (option R) with alkali-reactive aggregates.
White Portland Cement
In addition to the eight types of portland cement, a number of special purpose hydraulic cements are manufactured. Among these is white portland cement. White portland cement is identical to gray portland cement except in color. During the manufacturing process, manufacturers select raw materials that contain only negligible amounts of iron and magnesium oxides, the substances that give gray cement its color. White cement is used whenever architectural considerations specify white or colored concrete or mortar.
Blended Hydraulic Cements
Blended hydraulic cements are produced by intimately blending two or more types of cementitious material. Primary blending materials are portland cement, ground granulated blast-furnace slag, fly ash, natural pozzolans, and silica fume. These cements are commonly used in the same manner as portland cements. Blended hydraulic cements conform to the requirements of ASTM C595 or C1157. ASTM C595 cements are as follows: Type IS-portland blast-furnace slag cement, Type IP and Type P-portland-pozzolan cement, Type S-slag cement, Type I (PM)-pozzolan modified portland cement, and Type I (SM)-slag modified portland cement. The blast-furnace slag content of Type IS is between 25 percent and 70 percent by mass. The pozzolan content of Types IP and P is between 15 percent and 40 percent by mass of the blended cement. Type I (PM) contains less than 15 percent pozzolan. Type S contains at least 70 percent slag by mass. Type I (SM) contains less than 25 percent slag by mass. The supplementary materials in these cements are explained further on page 28. These blended cements may also be designated as air-entraining, moderate sulfate resistant, or with moderate or low heat of hydration. ASTM C1157 blended hydraulic cements include the following: Type GU-blended hydraulic cement for general construction, Type HE-high-early-strength cement, Type MS-moderate sulfate resistant cement, Type HS-high sulfate resistant cement, Type MH-moderate heat of hydration cement, and Type LH-low heat of hydration cement. These cements can also be designated for low reactivity (option R) with alkali-reactive aggregates. There are no restrictions as to the composition of the C1157 cements. The manufacturer can optimize ingredients, such as pozzolans and slags, to optimize for particular concrete properties. The most common blended cements available are Types IP and IS. The United States uses a relatively small amount of blended cement compared to countries in Europe or Asia. However, this may change with consumer demands for products with specific properties, along with environmental and energy concerns.
Expansive Cements
Expansive cements are hydraulic cements that expand slightly during the early hardening period after setting. They meet the requirements of ASTM C845 in which it is designated as Type E-1. Although three varieties of expansive cement are designated in the standard as K, M, and S, only K is available in the United States. Type E-1 (K) contains portland cement, anhydrous tetracalcium trialuminosulfate, calcium sulfate, and uncombined calcium oxide (lime). Expansive cement is used to make shrinkage-compensating concrete that is used (1) to compensate for volume decrease due to drying shrinkage, (2) to induce tensile stress in reinforcement, and (3) to stabilize long-term dimensions of post-tensioned concrete structures. One of the major advantages of using expansive cement is in the control and reduction of drying-shrinkage cracks. In recent years, shrinkage-compensating concrete has been of particular interest in bridge deck construction, where crack development must be minimized.
Langganan:
Postingan (Atom)