Kamis, 08 Desember 2011

Runtuhnya Jembatan Kukar Bencana Kegagalan Teknologi

Runtuhnya jembatan Kukar membuat pemerintah kalang kabut melakukan berbagai investigasi mempelajari apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya. Berbagai kalangan akademisi maupun praktisi mangambil bagian untuk melakukan penelitian yang tentunya akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sekitar 6 bulan yang lalu saya bersama dengan tim dari Sika sempat diundang oleh Dinas pekerjaan Umum untuk memberikan presentasi di hadapan kurang lebih 80 staff DPU Kukar mengenai teknologi konstruksi beton. Dalam pertemuan tersebut saya sedikit menyinggung pentingnya design service life ( rencana masa pakai ) suatu bangunan konstruksi. Karena ketika kita tidak concern terhadap masalah ini , maka akan berakibat fatal bagi bangunan tersebut. Umur bangunan konstruksi khususnya jembatan yang baik di Indonesia adalah minimal 50 tahun.Inipun masih jauh bila dibaningkan dengn rata-rata umur bangunan konstruksi di Jepang yang bisa bertahan lebih dari 100 tahun. Banyak aspek yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pembangunan konstruksi mulai dari tahap perencanaan , pelaksanaan hingga pemeliharaan , baik itu pemilihan material yang digunakan maupun penentuan metode pelaksanaan / perbaikan harus direncanakan secara matang dan mendapat pengawasan ketat dari instansi pemilik (owner). Untuk menunjang hal ini tentunya ada biaya yang dibutuhkan yang tidak sedikit, namun akan sangat berarti bagi kelangsungan bangunan tresebut yang secara tidak langsung berdampak kepada generasi kita yang akan datang yang juga masih bisa merasakan karya pendahulunya.
Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan audit teknologi Jembatan Tenggarong yang runtuh. Tim akan mendata dan mengambil sampling bagian konstruksi terkait runtuhnya jembatan untuk keperluan audit teknologi.

"Karena ini dianggap suatu bencana kegagalan teknologi maka kita akan mengumpulkan data dari reruntuhan jembatan. Data tersebut akan memberikan hasil untuk merekonstruksi, melihat dengan teliti ada apa sebenarnya dengan jembatan ini. Mengapa jembatan ini runtuh, tentunya dari sisi teknologi (struktur). Hasil yang didapat bisa dijadikan sebagai bahan rekomendasi kepada instansi terkait," kata Dr. Ir. Wahyu W Pandoe. M.Sc, Ketua Tim Investigasi Bawah Air BPPT.

Selain tim investigasi bawah air yang telah melakukan scanning (pemetaan) juga terdapat tim atas air (bagian struktur) yang sedang melakukan penelitian existing condition dari jembatan. Tim investigasi bawah air mengidentifikasi objek-objek dibawah air sungai Mahakam dengan menggunakan peralatan side scan sonar, multibeam echosounder serta alat pendukung lainnya seperti alat pengukur arus dan GPS.

Existing condition bawah air juga tidak luput dari pemeriksaan. Data yang ada akan dipelajari dan dikombinasikan dan itu hanya membutuhkan waktu yang tidak lama untuk menganalisanya. Selanjutnya, hasil kombinasi akan dikirim ke pusat dan tim kami di kantor pusat akan memberikan kesimpulan apa yang sebenarnya terjadi dengan Jembatan Kartanegara. TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menggandeng sejumlah tim ahli konstruksi independen untuk menelusuri penyebab jembatan Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, yang ambruk pada Sabtu (26/11/2011) pekan lalu. Hasil penyelidikan itu akan disampaikan kepada Polda Kaltim sebagai penanggungjawab hukum lokasi kejadian tersebut. Demikian disampaikan Dirjen Bina Marga Kementerian PU, Djoko Mujanto, di kantornya, Jakarta, Senin (28/11/2011). Karena masih diselidiki tim, Djoko mengelak memberitahukan dugaan sementara penyebab ambruknya jembatan tersebut. "Kenapa ini terjadi? Saat ini sedang diteliti oleh tim teknis yang independen. Karena ini punya Kabupaten Kutai Kartanegara, jadi ini independen. Kami tidak punya interest. Tim dari Bina Marga, Bimtek, Litbang PU, kontraktor dan konsultan yang dulu, sekarang ada di lapangan, juga beberapa (ahli) universitas, dan akan menyusul terus, karena mereka banyak yang meminta izin kepada kami untuk bergabung. Kami mempersilakan, karena koordinasi dengan Kapolda Kaltim. Tidak masalah sepanjang itu untuk meningkatkan akurasi yang akan ditemukan. Sampai saat ini, kami belum dapat laporannya," papar Djoko. Investigasi bersama ini juga melibatkan perusahaan kontraktor pembangunan jembatan tersebut, yakni PT Hutama Karya. "Dalam penyelidikan tadi malam sudah ada koordinasi antara Polda Kaltim, Bareskrim Jakarta. Tentu saja ada tim dari Provinsi dan Kabupaten, termasuk tim dari PU, Bina Marga, maupun dari beberapa universitas secara volunteers dari ITB, ITS, Undip juga termasuk kontraktor dan konsultan yang dulu mengerjakan, itu sudah ada di lapangan," ujar Djoko. Menurut Djoko, tim dari PU bersama tim independen setidaknya memerlukan waktu satu minggu untuk mencari tahu penyebab ambruk jembatan berjuluk "Golden Gate Kalimantan tersebut. "Yang terpenting sekarang tindakan-tindakan ke depan. Dalam waktu 3x24 jam, kami sepakati evakuasi korban," imbuhnya. Djoko menjelaskan, jembatan naas tersebut dibangun oleh PT Hutama Karya sejak 1995 hingga 2001 atas pembiayaan bersama. Namun, kepemilikan dan perawatan jembatan itu adalah tanggung jawab pemerintah Kabupaten Kukar. "Waktu itu belum ada pembagian otonomi daerah. Jadi, pembiayaannya sharing, bersama-sama. Dana pusat waktu itu, pakai dana P23, kemudian dana dari pemprov juga kabupaten. Ketiganya ini bersama-sama. Tapi, pemiliknya, karena berada di jalan kabupaten, maka pemiliknya adalah Kabupaten Kutai Kartanegara," ujar Djoko.

Cement Grinding Aid (CGA)

The introduction of Cement Grinding Aid (CGA), started more than 50 years ago, has as ultimate task the prevention of
cement particle re-agglomeration during and after milling process. What makes CGA application
even more desirable is their significant effects on mechanical properties of cement, whose particle
size distribution results narrower and shifted towards shorter diameters.
Their influence on cement chemico-physical behaviour has been attributed to the reduction of
surface energy forces generated on cement grains during comminution.
CGA are constituted of polar organic compounds such as alkanolamines, which arrange their dipoles
so that they saturate the charges on the newly formed particle surface, reducing re-agglomeration.
Nevertheless, this kind of additives results efficient even at very low dosage (< 500 ppm), which
cannot give reason of a complete covering on cement particle surface, that is for a complete
screening of the free charges. Moreover, it cannot give reason of their effects on subsequent
mechanical properties of cement paste.
Various research groups followed different approaches to go further in the interpretation of the CGA
action. Some authors have been involved in the analysis of alkanolamines and glycols based CGA,
extracted from dry cement by different technics. Besides the intrinsic difficulty in the extraction of
this polar compounds, once they interact with cement, it has been hypothesized either an
irreversible physic adsorbtion or a chemical interaction with cement salts, favoured by high
temperatures (100-120°C) reached inside the mill during grinding process.
Much more interest has been shown on the influence of these alkanolamines or glycols as
admixtures on cement hydration and strength development. It is well known, for example, and
well accepted that alkanolamines (especially TriIsoPropanolAmine - TIPA) interact preferentially
with iron based phases of cement . In the same way TriEthanolAmine (TEA) effect on cement
setting time is still debated.
Recently technology of CGA has been developed. We have not only Amine based , but also Glycol , Polymer Glycol and Polymer Glycol Ester as latest technology . There are some CGA's producers in the world ,Sika is one of it. SikaGrind®-870 is a chloride free liquid cement grinding aid with performance enhancing properties. SikaGrind®-870 has been specifically designed to increase the output of cement grinding plants and obtain improved early strength development for cements with high amount of clinker replacements SikaGrind®-870 is a dispersant with the following characteristics:  Neutralisation of electrical charges on the surface of the cement particles  Separation of the cement particles SikaGrind®-870 provides the following advantages in cement production:  Enhanced grinding properties of the cement mill due to less accumulation of material on grinding balls and mill-liners  Higher separator efficiency due to improved cement particle dispersion  Reduced relative power consumption per ton of cement due to increased output of the grinding system (tons per hour)  Easier achievement of the desired cement fineness (Blaine, particle fraction > 32μm, granulometry) due to reduced re-agglomeration of the sufficiently ground cement particles  Minimized problems with “plugging” due to improved powder flow characteristics SikaGrind®-870 gives the following advantages to the finished cement:  Reduced quantity of “over-milled” particles in the cement granulometry  Easier discharge of the silos  Increased early strengths after 1 and 2 days  Economic cement design with clinker replacements Typical dosage rates of SikaGrind®-870 are between 0.2 -0.5 kg per tonne of cement (0.02% - 0.05% of total weight = cement clinker + additions). The optimum dosage to achieve the desired characteristics shall be determined in Plant trials. Influencing factors are e.g. the properties of clinker source, type of cement and other plant variables. For consistent results, SikaGrind®-870 must be accurately dispensed

Sabtu, 30 Juli 2011

CARBON FIBRE REINFORCED POLYMER

CARBON FIBRE REINFORCED POLYMER
The main impetus for development of carbon fibres has come from the aerospace industry with its need for a material with combination of high strength, high stiffness and low weight. Recently, civil engineers and construction industry have begun to realize that this material (CFRP) have potential to provide remedies for many problems associated with the deterioration and strengthening of infrastructure. Effective use of carbon fibre reinforced polymer could significantly increase the life of structures, minimizing the maintenance requirements.
Carbon fibre reinforced polymer is a type of fibre composite material in which carbon fibres constitutes the fibre phase. Carbon fibre are a group of fibrous materials comprising essentially elemental carbon. This is prepared by pyrolysis of organic fibres. PAN-based (PAN-poly acrylo nitrile) carbon fibres contains 93-95 percentage carbons, and it is produced at 1315°C (2400°F). Carbon fibres have been used as reinforcement for albative plastics and for reinforcements for lightweight, high strength and high stiffness structures. Carbon fibres are also produced by growing single crystals carbon electric arc under high-pressure inert gas or by growth from a vapour state by thermal decomposition of a hydrocarbon gas.
CFRP materials possess good rigidity, high strength, low density, corrosion resistance, vibration resistance, high ultimate strain, high fatigue resistance, and low thermal conductivity. They are bad conductors of electricity and are non-magnetic.
Carbon fibre reinforced polymer (CFRP) is currently used world wide to retrofit and repair structurally deficient infrastructures such as bridges and buildings. Using CFRP reinforcing bars in new concrete can eliminate potential corrosion problems and substantially increase a member’s structural strength. When reinforced concrete (RC) members are strengthened with externally bonded CFRP, the bond between the CFRP and RC substrate significantly affects the members load carrying capacity.
Strengthening measures are required in structures when they are required to accommodate increased loads. Also when there are changes in the use of structures, individual supports and walls may need to be removed. This leads to a redistribution of forces and the need for local reinforcement. In addition, structural strengthening may become necessary owing to wear and deterioration arising from normal usage or environmental factors.
The usage of composite materials like CFRP is still not widely recognized. The lack of knowledge of technology using CFRP and the simplicity of it will make some people hesitant to use it. Carbon Fibre strengthening system includes laminate and sheet products for increasing the strength of concrete structures. Carbon, Aramid and E-glass can be used to solve problems from change of use to increased load carrying capacity to bomb blast protection. Simple installation, minimal increase of deadload and ability to deal with complex strengthening requirements make this a problem solve.

Strengthening of a structure may be necessary if increases in loads, changes in structural articulation or intended use occur, and also, after accidental damages. Depending on the location of structure, access to the repair area, or the time allow for the repair, several materials and technique have to be considered. Carbon Fiber Reinforced Polymer Strip is an external strengthening system that can be used on structural elements comprised of concrete, wood, or steel. This system consists of a pultruded, pre-cured carbon fiber reinforced polymer (CFRP) strip and a high modulus/high strength epoxy gel. The strips are adhered using epoxy gel to structural elements to increase flexural capacity, fatigue resistance and reduce deflection.

Carbon Fiber Reinforced Polymer (CFRP) is a Polymer Matrix Composite material reinforced by carbon fibers.
The reinforcing dispersed phase may be in form of either continuous or discontinuous carbon fibers of diameter about 0.0004” (10 mkm) commonly woven into a cloth.
Carbon fibers are very expensive but they possess the highest specific (divided by weight) mechanical properties: modulus of elasticity and strength.
Carbon fibers are used for reinforcing polymer matrix due to the following their properties:
• Very high modulus of elasticity exceeding that of steel;
• High tensile strength, which may reach 1000 ksi (7 GPa);
• Low density: 114 lb/ft³ (1800 kg/m³);
• High chemical inertness.
The main disadvantage of carbon (Graphite) fibers is catastrophic mode of failure (carbon fibers are brittle).
The types of carbon fibers are as follows:
• UHM (ultra high modulus). Modulus of elasticity > 65400 ksi (450GPa).
• HM (high modulus). Modulus of elasticity is in the range 51000-65400 ksi (350-450GPa).
• IM (intermediate modulus). Modulus of elasticity is in the range 29000-51000 ksi (200-350GPa).
• HT (high tensile, low modulus). Tensile strength > 436 ksi (3 GPa), modulus of elasticity < 14500 ksi (100 GPa).
• SHT (super high tensile). Tensile strength > 650 ksi (4.5GPa).
Carbon fibers are also classified according to the manufacturing method:
1. PAN-based carbon fibers (the most popular type of carbon fibers).
In this method carbon fibers are produced by conversion of polyacrylonitrile (PAN) precursor through the following stages:
• Stretching filaments from polyacrylonitrile precursor and their thermal oxidation at 400°F (200°C). The filaments are held in tension.
• Carbonization in Nitrogen atmosphere at a temperature about 2200 °F (1200°C) for several hours. During this stage non-carbon elements (O,N,H) volatilize resulting in enrichment of the fibers with carbon.
• Graphitization at about 4500 °F (2500°C).
2. Pitch-based carbon fibers.
Carbon fibers of this type are manufactured from pitch:
• Filaments are spun from coal tar or petroleum asphalt (pitch).
• The fibers are cured at 600°F (315°C).
• Carbonization in nitrogen atmosphere at a temperature about 2200 °F (1200°C).
The most popular matrix materials for manufacturing Carbon Fiber Reinforced Polymers (CFRP) are thermosets such as epoxy, polyester and thermoplastics such as nylon (polyamide).
Carbon Fiber Reinforced Polymers (CFRP) materials usually have laminate structure, providing reinforcing in two perpendicular directions.
Carbon Fiber Reinforced Polymers (CFRP) are manufactured by open mold processes, closed mold processes and Pultrusion method.
Carbon Fiber Reinforced Polymers (CFRP) are characterized by the following properties:
• Light weight;
• High strength-to-weight ratio;
• Very High modulus elasticity-to-weight ratio;
• High Fatigue strength;
• Good corrosion resistance;
• Very low coefficient of thermal expansion;
• Low impact resistance;
• High electric conductivity;
• High cost.
Carbon Fiber Reinforced Polymers (CFRP) are used for manufacturing: automotive marine and aerospace parts, sport goods (golf clubs, skis, tennis racquets, fishing rods), bicycle frames.
Properties of some Carbon Fiber Reinforced Polymer Composites
(Materials Data)
• Epoxy Matrix Composite reinforced by 70% carbon fibers
• Epoxy Matrix Composite reinforced by 50% carbon fibers
• Polyether Ether Ketone B Matrix Composite reinforced by 30% carbon fibers

Senin, 25 Juli 2011

The Use of Steel Fibre Reinforced Concrete









Fibers have been used as reinforcement since ancient times, when straw was used to reinforce otherwise brittle mud bricks. Similarly, concrete on its own is a relatively brittle substance, with low tensile and ductile strengths. Steel fiber reinforced concrete, or SFRC, is concrete containing small steel fibers which increase concrete's structural capacity. For this reason SFRC is favorable in applications where additional durability and ductile strength are required.


How Does It Work?


When added to the concrete mixture, steel fibers help enhance many of concrete's mechanical characteristics. The fibers can be between 30mm and 100mm in length, and come in straight, textured and hooked varieties. These fibers improve structural properties, including toughness, durability and tensile strength of the concrete. Most importantly, the fibers help to restrain cracking which occurs during the curing process, by restricting movement of the concret

Shotcrete

Shotcrete is a highly fluid type of concrete which can be sprayed onto almost any surface. It is used in applications where the concrete is being projected onto irregular or vertical surfaces. Steel mesh can be installed prior to spraying, to provide a substrate for the shotcrete to adhere to. Shotcrete is often reinforced with steel fibers to increase its cohesion during application, which eliminates the need to install traditional steel wire mesh.

Precast Elements

Precast concrete elements are made in an off-site facility before transportation and installation on site. They are used in almost all types of construction, including apartment buildings, offices, bridges and tunnels. Steel fibers are often added to the concrete mix in the casting facility for applications such as bridge building, where qualities such as durability and flexural strength are required. In some cases, the addition of steel fibers also allows smaller, lighter sections to be made, as there is no requirement for traditional steel bar reinforcement.

Industrial Ground Slabs

Steel fiber reinforced concrete is commonly used for industrial ground slabs, such as in warehouses and airport runways. Concrete slabs in these applications are subject to constant, repetitive use from forklifts and other traffic. In this environment, SFRC provides extra durability to the surface of the slab and added strength against cracking, particularly along edges and joints where the slab is more prone to weakness.

Tunnels

Tunnel linings are traditionally constructed from precast concrete elements, cast-in elements, shotcrete or a combination of these. Tunnels are under a constant load from either soil or water above, and require high resistance against these forces. Steel fiber reinforced concrete is commonly used in tunnel construction, as it provides additional flexural strength, reduces shrinkage cracking and reduces permeability.


Fiber reinforced concrete is a composite obtained by adding a single type (steel or synthetic) or a blend (steel + synthetic) of fibers to the concrete mix.

WIRAND® steel fibers are used to reinforce the concrete adding mechanical properties that can be used for structural design purpose.

FIBROMAC® synthetic fibers are used as a complement for the concrete to control the effects of moisture and water lost in the first stage (24 to 72 hours) of curing.

Adding fibers to concrete improves mechanical properties:

* Increases toughness
* Increases ductility and flexural resistance
* Gets higher and more stable tensile strength
* Increases shear resistance

And can improve control for the following effects:

* Fatigue
* Impact
* Shrinkage
* Fire resistance

Fiber reinforced concrete technology is in continuous growth and expansion, and is now included in most relevant concrete codes around the world. The codes refer to the technical considerations to define this material with or without structural responsibility for design purpose, and guide accurate use of the technology.

The traditional sectors where the fiber reinforced concrete is applied are:

* Lining for tunnels
* Industrial floors
* Precast elements

Dramix ® steel fibers for concrete reinforcement
Advantages

* High ductility and load bearing capacity
* Cost effective reinforcement solution
* Quick and easy to apply

Product description
Dramix
© Bekaert

What if you had a material that provided you with unlimited possibilities to build and develop your projects? Meet Dramix®, the proven steel fiber concept from industry specialist Bekaert, which has set a new standard for concrete reinforcement. What you get from Dramix® reinforced concrete is ductility and high load bearing capacity.


Technological features

Applications

* Construction
* Concrete reinforcement
* Dramix® for residential applications
* Dramix® for precast elements

* Dramix® for tunnel applications
* Dramix® concrete reinforcement for civil works
* Dramix® for industrial floors

Senin, 13 Juni 2011

Investor Prancis dan Cina Bangun Pabrik Semen Baru


TEMPO Interaktif, Jakarta - Produsen semen terbesar asal Prancis dan Cina berencana membangun pabrik semen di Indonesia. Produsen semen Prancis, Lafarge Cement, sedang menjajaki investasi untuk membangun pabrik di Jawa Timur. Sedangkan produsen semen Cina, China Triumph International Engineering Co. Ltd (CTIEC), akan membangun pabrik di Grobogan, Jawa Tengah.


Namun, Menteri Perindustrian, Mohamad Suleman Hidayat, menginginkan Lafarge membangun pabrik di luar Jawa. Alasannya, dengan pembangunan itu akan tercipta pemerataan pembangunan industri. Apalagi saat ini pembangunan mulai lebih banyak diarahkan ke luar Jawa. Alternatif lain selain Jawa adalah di Langkat, Sumatera Utara.


Lafarge sudah menginvestasikan dana US$ 300 juta untuk membangun pabrik berkapasitas 1,6 juta ton per tahun di Aceh. Rencananya pabrik baru itu akan memiliki kapasitas sama dengan pabrik di Aceh. Tapi nilai investasi baru itu belum diketahui. "Mereka sedang menghitung investasi yang dibutuhkan," ujar Hidayat.


Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur, Panggah Susanto, mengatakan, pembangunan pabrik milik China Triumph di Grobogan ini memiliki kapasitas produksi sebesar 2 juta ton per tahun. "Nilai investasinya mencapai US$ 350 juta.”


Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia, Urip Timuryono, memprediksi, tahun ini konsumsi semen naik sekitar 7,5 persen menjadi 43 juta ton dari 40 juta pada tahun lalu. "Konsumsi semen masih dominasi pulau Jawa sebesar 65 persen, Sumatera sudah 29 persen, Kalimantan dan Sulawesi sebanyak 10 persen.”


Urip mengatakan, tahun ini permintaan semen yang cukup tinggi mengikuti pertumbuhan properti yang terus berkembang. Urip menjelaskan, rata-rata produksi semen secara nasional per tahun mencapai 66 juta ton. Dari jumlah ini sebanyak 43 juta ton diserap di dalam negeri dan sisanya untuk ekspor.


Data Kementerian Perindustrian menyebutkan, kapasitas produksi semen tahun ini 52 juta ton. Produksi tahun lalu 40,7 juta ton. Pada 2012-2013, kapasitas industri semen bakal bertambah 6,8 juta ton menyusul investasi tiga produsen: PT Semen Gresik Indonesia 2,5 juta ton pada 2012, PT Semen Tonasa 2,5 juta ton pada 2011, dan PT Holcim Indonesia 1,8 juta ton pada 2014.


Meski ekspansi produsen dan pasar terus bertumbuh, ekspor semen diprediksi tidak maksimal. Ekspor tahun ini sekitar 1,5 juta ton, turun dari ekspor tahun lalu sekitar 1,5-2 juta ton. Tipe tekstur semen yang padat membuat ekspor relatif sulit. “Ongkos angkut untuk ekspor mahal tapi harus dijual lebih murah. Ini akan cenderung menggerus margin produsen," kata Urip.

Lafarge Ngotot Bangun Pabrik Semen di Jawa Timur

JAKARTA--MICOM: Produsen semen asal Prancis Lafage telah menyatakan minatnya untuk membangun pabrik semen di Jawa Timur. Lafarge baru menyelesaikan pembangunan kembali pabrik di Aceh yang terhantam tsunami pada Desember 2004.

Demikian disampaikan Menteri Perindustrian MS Hidayat di sela pameran keramik, kaca, dan bahan bangunan di Plaza Kemenperin, Jakarta, Selasa (7/6).

"Saya ingatkan resikonya besar karena di Jawa persaingannya sangat ketat. Syarat Amdal-nya juga lebih ketat," ujar Hidayat.

Hidayat sebetulnya mengharapkan Lafarge menginvestasikan uangnya untuk pabrik semen di luar Pulau Jawa. Sebab, pemerintah memang tengah mendorong industrialisasi di luar Jawa.

Lafarge sendiri baru saja mengoperasikan kembali pabrik mereka yang terhantam tsunami Aceh, Desember 2004. Pabrik di Lhoknga yang selesai dibangun Maret 2011 tengah memulai produksi percobaan. Pabrik berkapasitas 1,6 juta ton per tahun tersebut menghabiskan dana sekitar US$300 juta.

Menurut Dirjen Industri Manufaktur Kemenperin Panggah Susanto, sebelumnya Lafarge juga telah menyampaikan minatnya untuk membangun pabrik di Langkat, Sumatera Utara. "Sekarang sedang menjajaki bahan bakunya. Kira-kira kapasitasnya 1,5 juta ton. Nilai investasinya US$275 juta," katan Panggah.


Bupati undang Lafarge investasi pabrik semen di Kab. Malang

MALANG: Bupati Malang Rendra Kresna mengundang Lafarge, salah satu produsen semen terbesar di dunia asal Perancis, untuk investasi di daerah tersebut dengan mendirikan pabrik semen.

Di temui di sela-sela Kirab Adipura, hari ini, Bupati mengatakan pihaknya akan menyurati Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menginformasikan bahwa Kab. Malang tertarik untuk menerima Lafarge investasi di daerah tersebut.

“Kami mempunyai keunggulan bila dibandingkan daerah lain karena sudah feasibility study (FS) terkait dengan kapasitas bahan baku semen di daerah ini,” kata Rendra Kresna hari ini.

Seperti diberitakan harian ini, Lafarge menjajagi pembangunan pabrik semen dengan perkiraan investasi US$300 juta di Jawa Timur.

Menurut Bupati, semua bahan baku semen ada di Kab. Malang. Bahan-bahan baku berada di kawasan perbukitan kapur, yakni di Sumbermanjing Wetan, Kalipare, Donomulyo, Gedangan, Wajak, dan Pagak.

Bahan-bahan dimaksud, yakni pasir, tanah liat, pasir kuarsa, dan batu kapur. Deposit batu kapur di Kab. Malang mencapai 600 tahun dengan asumsi pabrik semen berproduksi 2 juta ton per tahun, sedangkan deposit tanah liat mencapai 60 tahun dengan asumsi masa produksi yang sama.

Asumsi itu jika memperhitungkan juga pemanfaatan tanah milik Perhutani. “Tapi tanah liat tersebut kan bisa didapatakan dari daerah lain, seperti Blitar dan Lumajang, jika bahan terserbut di Kab. Malang sudah habis dieksploitasi.”

Jumat, 06 Mei 2011

Pabrik ke-5 Semen Tonasa di Sulsel bakal beroperasi di kuartal IV 2011




JAKARTA. Kapasitas pabrik PT Semen Tonasa bakal bertambah, seiring segera selesainya pembangunan pabrik di Pangkep, Sulawesi Selatan. Kapasitas pabrik semen milik anak usaha PT Semen Gresik itu mencapai 2,5 juta ton.

Saat ini, proses pembangunan pabrik sudah rampung 80%. "Kami targetkan pabrik itu bisa beroperasi pada November tahun ini," kata Direktur Utama Semen Tonasa, Sattar Taba, Kamis (14/4).

Pabrik yang menghabiskan investasi sebesar Rp 3,5 triliun ini menjadi pabrik kelima milik Semen Tonasa. Jika pabrik ini beroperasi secara komersial, produksi semen mencapai 6,5 juta ton. Saat ini, kapasitas produksi Semen Tonasa hanya sebesar 4 juta ton.

Dengan tambahan kapasitas dari pabrik baru ini, Semen Tonasa menargetkan bisa menjual 4,3 juta ton semen tahun ini, naik 7,5% dari penjualan tahun lalu yang sebanyak 4 juta ton.

Selain itu, Semen Tonasa juga tengah membangun pembangkit berkapasitas 2x35 MW dengan investasi US$144 juta. Proyek ini diharapkan bisa rampung pertengahan 2012.

”Tahap pemancangan sudah dimulai Juli 2010 lalu. Proyek ini hampir sepenuhnya menggunakan muatan lokal. Sekitar 80% komponennya adalah produksi dalam negeri. Pengerjaannya juga dilakukan PT Rekayasa Industri yang juga BUMN," kata Sattar.

Sebagai bagian dari upaya untuk memperbesar penguasaan pasar di Indonesia timur, Semen Tonasa juga sedang membangun packing plant di Papua, Sultra, Kaltim, dan Ternate. Masing-masing packing plant berkapasitas 600.000 ton per tahun. Saat ini Semen Tonasa sudah mempunyai delapan packing plant.

Semua ekspansi Semen Tonasa itu menjadi bagian dari upaya Grup Semen Gresik untuk memacu kapasitas produksi perusahaan. Saat ini kapasitas produksi Semen Gresik mencapai 20,5 juta ton. Targetnya, di 2013 kapasitas produksi perusahaan plat merah ini bisa naik menjadi 27 juta ton.

Kamis, 28 April 2011

Genjot Produksi, Indocement Bangun Pabrik Baru



Perseroan telah melakukan beberapa survei geologi dan studi kelayakan dalam menentukan lokasi pabrik semen baru dengan total 2-3 juta ton semen per tahun antara lain di beberapa lokasi seperti din Citeureup dan Tarjun, serta area Jawa Tengah. Dwitya Putra

Jakarta–Produsen semen, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) pada tahun ini akan melakukan penambahan satu pabrik semen baru dengan kapasitas 2 juta ton per tahun di wilayah Citeurup, Jawa Barat.

Dalam keterbukaan perseroan, di Jakarta Jumat, 18 Maret 2011, disebutkan, pembangunan pabrik baru tersebut diharapkan akan beroperasi pada tahun 2012 atau selambat-lambatnya pada 2013.

Disamping itu, jika kondisi domestik tetap bertumbuh perseroan juga berencana untuk melakukan ekspansi dengan membangun semen pabrik baru dalam 3-4 tahun ke depan.

Untuk langkah tersebut saat ini perseroan telah melakukan beberapa survei geologi dan studi kelayakan dalam menentukan lokasi pabrik semen baru dengan total 2-3 juta ton semen per tahun antara lain di beberapa lokasi seperti din Citeureup dan Tarjun, serta area Jawa Tengah.

Sekedar informasi, laba bersih INTP sepanjang 2010 tercatat Rp 3,225 triliun, tumbuh 17,4% dibanding periode lalu yang sebesar Rp 2,747 triliun. Laba bersih per saham sendiri mencapai Rp 876,05.

Laba perseroan tersebut disokong oleh pendapatan yang naik 5,31% dari Rp 10,576 triliun di 2009 menjadi Rp 11,138 triliun. Beban pendapatan per 31 Desember 2010, Rp 5,597 triliun. Ini menjadikan laba kotor INTP mencapai Rp 5,541 triliun, meningkat 8,47% dari periode yang sama tahun lalu, Rp 5,108 triliun. (*)

Lafarge Rencanakan Bangun Pabrik Semen di Langkat



Langkat, Sumut (ANTARA) - Lafarge salah satu perusahaan semen terbesar di dunia, merencanakan membangun pabrik semen di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut).


Lafarge merencanakan membangun pabrik semen itu disekitar Kuala dan Bahorok, kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Langkat, T Nilfan Shahari di Stabat, Kamis.


"Kita akan terima secara terbuka investasi yang mau masuk ke Langkat, seperti akan dilaksanakan Lafarge membangun pabrik semen di Bahorok, "katanya.


Kesungguhan pihak Lafarge untuk segera membangun pabrik semen dibuktikan melalui berbagai sosialisasi yang sudah dilakukan kepada masyarakat setempat beberapa waktu lalu.


T Nilfan Shahari menjelaskan bahwa Lafarge akan membangun pabrik berkapasistas 1.500.000 ton, dengan nilai investasi mencapai US 275.575.000.


Lafarge sudah mempunyai lokasi seluas 200 hektare di Desa Parit Bindu Kecamatan Kuala (berupa tanah liat), 73 hektare di Desa Batu Katak Kecamatan Bahorok (berupa tanah liat), dan 227 hektare di Desa Batu Katak Bahorok (berupa tanah kapur).


T Nilfan Shahari juga menjelaskan komitmen Lafarge melakukan rehabilitasi daerah bekas tambang agar keberadaan lingkungan di daerah tersebut tetap terjaga.


Selain itu, kata T Nilfan Shahari mereka sangat peduli dan perhatian terhadap bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial masyarakat yang berada di sekitar pabrik semennya.


"Kita bisa lihat, apa yang dilakukan Lafarge di daerah bekas tambang akan menjadi taman nasional, seperti pabrik semen Bamburi dekat Mombasa, Kenya, pada awal tahun 1970, katanya.

Minggu, 13 Maret 2011

Indonesian Cement Industry starts expansion

Indonesian Cement Industry starts expansion
The improvement in the country's economic condition in 2010 has boosted development of the country's cement industry. Work in a number of infrastructure and property projects, shelved earlier, has been resumed. The residential building projects have been the largest consumer of cement in the country. Many people build and renovate houses with the improvement in the people's welfare.
In 2009, cement industry suffered a setback. Demand for cement was weak amid the global slump followed the crisis late 2008. It was shown in the cement production that shrank 3.6% to 36.9 million tons in 2009 from 38.3 million tons in the previous year despite an increase in production capacity. The country's cement production capacity was 47.9 million tons per year in 2009, up 9% from 44 million tons in 2008. The cement industry, therefore, had large idle capacity in 2009.
In 2010, demand for cement grew fast and many factories have operated almost at full capacity. Many producers, therefore, plans expansion. Meanwhile, PT Semen Andalas has resumed operation in Aceh since September 2010, after being out of business when its factory was destroyed by tsunami that devastated Aceh late 2004. The operation of PT Andalas, which is owned by France's cement giant Lafarge brought the country's total production capacity to around 50.8 million tons in 2010..
The capacity expansion by cement industry is planned to keep pace with growing demand that follows the country's economic growth. In addition, replacement of old factories is needed as they are no longer efficient. It would not be easy for small capacity producers to compete in the market especially with the increase in production cost with the higher fuel cost. The prices of coal as the main fuel for cement factories have increased to follow the rise in the oil prices.
Small players like Semen Kupang, Semen Baturaja, and Semen Bosowa could not take full advantage of the rise in cement demand. There are a number of hurdles that keep them out of contention such as locations being tool far from potential markets--Java, Sumatra and Sulawesi and difficulty in transport.
The availability of energy is a vital factor in the development of cement industry. Modernization and modification of factories are made using energy saving machines and to use secondary energy.
The availability and prices of coal are among important factors determining plan for capacity expansion as fuel cost is a major element of production cost. A number of cement producers, planning capacity expansion have to carry out studies to ascertain that coal supply is well secured. The certainty of supply is important as high coal prices in international market may result in more coal exported causing shortage on the domestic market.
Types of cement produced
There are a number of types of cement produced in Indonesia. The main type is OPC (Ordinary Portland cement) or Portland Cement Type I which accounts for 80% of the country's total production. Another main type is composite cement. Other types are produced in small quantity.
Production capacity expands 9%
In the past several years, the country's cement production capacity has remained unchanged. Capacity expansion began only in 2002 for clinker--from 43,780,000 tons to 44,425,000 tons a year or an increase of 1.5% and for cement--to 47,490,000 tons from 47,140,000 or an increase of 0.7%.
However, in 2005 and 2006, the cement production capacity fell as one of the major producers PT. Semen Andalas stopped operation as its factory was destroyed by tsunami late 2004. In addition some old factories were out of function such as those of PT. Semen Padang with capacity of 100,000 tons/year of clinker and 200,000 tons/year of cement; PT. Semen Gresik with a capacity of 800,000 tons/year of clinker; PT. Semen Tonasa with a capacity of 60,000 tons/year of clinker; and PT. Holcim Indonesia with a capacity of 1 million tons/year of clinker and 1 million tons of cement per year.
According to ASI, until 2008, the country's cement production capacity remained unchanged at 44,890,000 tons per year, as there was no producers expanded their capacity or build new factories. In 2009, the country's installed capacity rose 9% to 47.9 million tons per year.
Capacity utilization was 76%. Based on production capacity, private cement companies are larger than state cement companies. Private companies account for 60% of the country's total production capacity with state companies for 40%.
In 2010, the country's production capacity is expected to increase by 2.9 million tons to 50.8 million tons per year. The additional capacity is contributed by five producers, which will invest around US$ 645.6 million for capacity expansion. A new cement mill with a capacity of 1.5 million tons of Indocement is already operational in Cirebon. A new factory with a capacity of 1.6 million tons is being built in Aceh by PT Semen Andalas to replace its old factory destroyed by Tsunami late 2004.
Producers
PT. Semen Gresik, Tbk (PT. SG)
PT. SG has three factories located in Tuban and Gresik, East Java with a total production capacity 8.5 million tons per year. PT. SG has two cement special ports in the two cities, one cement packaging plant in Ciwandan, Banten and 11 units of buffer warehouses in various areas Java and Bali.
On 15 September 1995, PT. SG took over both PT. Semen Padang (SP) and PT. Semen Tonasa (ST) and became its subsidiaries with 99.9% stake.
PT SP in Padang, West Sumatra, is strategically located to supply market in Sumatra. It is the largest supplier of cement for Sumatra. Part of its production is also sent to Java. It also exports part of its production. It has 6 units of packaging plant to support cement distribution in Padang, Medan, Banda Aceh, Batam, Jakarta and Banten. SP also have 14 units of buffer warehouses and cement special port in Teluk Bayur, and Ciwandan of Banten.
The types of cement produced by SP are Ordinary Portland Cement (OPC), Portland Pozzoloan Cement (PPC), Portland Composite Cement (PCC), Oil well Cement (OC) and Super Masonry Cement (SMC).
In 2009, cement production of SP totaled 5.4 million tons down 8.1% from 5.8 million tons in 2008. The decline was a result of major earthquake that rocked Padang in 2009.
PT Semen Tonasa (ST) in Pangkep, South Sulawesi has three factories producing the types of OPC and PPC. ST is the largest supplier of cement for eastern Indonesia including Sulawesi, Kalimantan and Nusa Tenggara. PT ST has 8 units of cement packaging plant in Makassar, Bitung, Samarinda, Palu, Banjarmasin, Ambon and Bali and 5 buffer warehouses. It also has special port to facilitate shipments of its production in Biringkassi.
Currently the SG group has a total production capacity of 19 million tons per year including 9 million tons of PT. Semen Gresik, 5.9 million tons of PT. Semen Padang and 4.1 million tons of PT. Semen Tonasa.
SGG has planned to build 2 new factories each with a capacity 2.5 million tons in Java and Sulawesi. The new factories are expected to come on line in 2012 bringing the production capacity of SGG to 23.9 million tons. Originally SGG planned to build 10 units of coal-fired power plant with a total capacity of 410 megawatts. Construction of the facilities is estimated to cost US$573 million to be operational in 2011. The facilities were to be built to supply power for the
Tuban factories with a capacity of 2 x 65 MW; for the Indarung factories in West Sumatra 3 x 35 MW, for Tonasa factories in Sulawesi 1x35 MW, for new cement factories in Java 2x32MW and for a new cement factory in Sulawesi 2x35 MW).
However, later the company decided to build only two more urgent power plants with a total capacity of only 2x35 MW to cost US$ 114 million in Sulawesi. In 2009, PT. Semen Tonasa secured a loan of Rp 3.5 trillion from syndicate of state banks to build the power plants.
SG also plans to build 4 units of packing plant to cost around Rp600 billion internally financed. The plants will be built in Sorong of Papua, Pontianak of West Kalimantan, East Kalimanatan and Banyuwangi of East Java to facilitate cement distribution.
The company also plans to build a cement plant in Papua if the market expands warrant investment in factory. In 2010, SG sets aside USS 402 million for capital expenditure. Part or US$ 264 million of the fund would be used to finance the construction of new cement factories . The company allocates US$ 1.26 billion for capital spending. For the 2008--2014 period.
The business lines of the SGG quite vary . In addition to cement production by PT. Semen Gresik Tbk, PT. Semen Padang and PT. Semen Tonasa; and cement packaging by PT. Industri Kemasan Semen Gresik, the group has business in industrial estate by PT. Kawasan Industri Gresik; limestone mining by PT. United Tractors Semen Gresik; steel fabrication, civil contracting service by PT. Swadaya Graha; general transport service, general trading, inter-island trade, business agency and good distribution under PT. Varia Usaha; and asbestos and building material production and casting industry by PT. Eternit Gresik.
Cemex sells stake to Blue Valley Pte. Ltd.
Dispute over share ownership in PT SG between the government and CEMEX ended with the Mexican cement giant selling its 24.9% stake to the Rajawali Group through an investment vehicle company Blue Valley Pte. Ltd. at a price of US$ 337 million .
The Rajawali Group, which is controlled by Peter Sondakh, acquired the stake after the government decided not exercises its rights to buy back the stake from Cemex. Under conditional sale and purchase agreement in Sept. 1998, the government was the first party to receive any offer by Cemex to sell its stake. Offer could be made to other buyers if the government decided not to buy the stake. Cemex also agreed to drop its legal suit against the government filed earlier with an international arbitration body.
Cemex acquired the stake from the government in Sept. 1998 at a price of US$ 1.38 per share and sold it to the Rajawali Group with a profit margin of US$ 0.9 per share.
Currently, PT. SG is 51.01% owned by the government 24.9% by Blue Valley Hodings, Pte and 24.09% by investing public.

Sabtu, 05 Maret 2011

SEMEN PORTLAND

SEJARAH
Sebelum semen yang kita kenal ditemukan, adukan perekat pada bangunan di buat dari kapur padam, pozolan dan agregat (campuran ini sering disebut semen alam). Dan kini bangunan yang menggunakan bahan perekat ini masih banyak ditemukan di Italy. Campuran perekat tersebut tidaklah terlalu kuat, tapi tergantung pula pada sifat pozolan yang di gunakan sebagai bahan perekat. Pozolan adalah bahan yang terbentuk oleh debu dari letusan gunung berapi. Kapur hidrolis pertama kali ditemukan oleh seorang sarjana sipil yang bernama Jon Smeaton pada tahun 1756. Pada saat itu ia bertugas untuk merehabilitasi menara api yang terletak di Eddystone. Ia mencoba menggabungkan kapur padam dan tanah liat. Kemudian campuran itu ia bakar. Setelah mengeras, bongkahan campuran tersebut di tumbuk hingga menjadi tepung. Yang mana tepung tesebut dapat digunakan kembali dan dapat mengeras di dalam air. Mulai dari percobaan inilah sifat-sifat kapur hidrolis mulai di kenal. Namun perkembangan bahan yang ia temukan masihlah lambat dibandingkan campuran kapur padam biasa. Pada tahun 1796 penemuan ini kembali dikembangkan oleh James Parker dari Norhfleed, Inggris. Ia mengembangkan campuran yang telah ditemukan oleh Jon, perbedaan dari campuran yang di temukan Jon, batu kapur yang digunakan James sebagai capuran adalah batu kapur yang mengandung lempung. Seadngkan teknik yang di gunakannya sama dengan yang di lakukan Jon. Pada tahun 1800 produk yang dikembangkan James berkembang pesat, sehingga produknya di beri nama semen roman. Namun perkembangan tersebut hanya bertahan hingga tahun 1850. Di Inggris tukang batu yang bernama Joseph Aspdin dari kota Leeds, mencampurkan kapur padam dengan tanah liat, kemudian ia bentuk jadi gumpalan. Lalu di bakar dengan suhu kalsinasi (suhu dimana kapur dapat meleleh) dan setelah itu di tumbuk hingga menjadi tepung. Ketika bahan campuran tersebut mengeras, warna dari bahan berubah menjadi abu-abu. Warna tersebut menyerupai bebatuan di wilayah Portland, maka Joseph memberi nama hasil temuannya sebagai Semen Portland. Tanggal 21 october 1824, semen Portland Joseph mendapat hak paten dari raja Inggris. Walau pun demikian ia tetap merahasiakan bahan campuran yang ia temukan, dan ia tidak memproduksinya secara masal. Setelah ia wafat, pengembangan dan pemasaran secara masal semen ini di teruskan oleh anaknya yang bernama William Joseph di Jerman. Tahun 1877 jerman melakukan penilitian lebih lanjut terhadap semen Portland, hingga membentuk asosiasi pengusaha dan ahlli semen. 30 tahun kemudian asosiasi tersebut menyebar hingga ke Inggris dan di Inggris Standard dari semen dibuat.
Di Indonesia semen merupakan tumpuan khususnya untuk wilayah Asia Tenggara, karena beberapa negara produsen seperti Jepang dan Korea akan mengurangi produksinya.
Total penggunaan semen sebesar 60% adalah untuk perumahan, sedangkan 80% dari 60% tersebut diperuntukkan bagi konstruksi non-struktural, ini berarti 80%x 60% atau 48% dari total produk semen diperuntukkan pekerjaan non-struktural untuk sektor
perumahan saja.


DEFENISI & UNSUR SEMEN

1. A. Definisi dan Unsur pokok semen

Semen adalah suatu bahan perekat hidrolis berupa serbuk halus yang dapat mengeras apabila tercampur dengan air.

Semen terdiri dari batu lapur / gamping yang mengandung kalsium oksida (CaO), tanah liat (lempung) yang mnegandung silika oksida (SiO2), aluminium oksida (Al2O3), besi oksida (Fe2O3) dan gips yang berfungsi untuk mengontrol pengerasan.

Semen memiliki 4 unsur pokok, yaitu :

1. Batu kapur (Cao) sebagai sumber utama, terkadang terkotori oleh SiO2, Al2O3, dan Fe2O3
2. Tanah liat yang mengandung senyawa SiO2, Al2O3, dan Fe2O3
3. Bila perlu ditambahkan pasir kwarsa / batu silika, ini di tambahkan apabila pada tanah liat mengandung sedikit SiO2.
4. Pasir besi / biji besi, ini ditambahkan apabila tanah liat mengandung sedikit Fe2O3

Pengolahan unsur-unsur tersebut dengan cara di bakar menjadi terak semen yang biasa disebut klinker. Yang mana klinker memiliki susunan mineral sebagai berikut:

1. Trikalsium silikat (C3S)
2. Dikalsium silikat (C2S)
Kandungan ke-2 zat ini berkisar 70-80%
3. Trikalsium aluminat (C3A) kandungan ini berkisar 18%
4. Tetrakalsium alumino ferit (C4AF) kandungan ini berkisar 16 %

1. B. Proses pengolahan semen

Terdapat dua proses pengolahan, yaitu : proses basah dan proses kering. Proses basah meliputi material yang masih basah, material ini diambil dari alam dan langsung diproses.

Proses pengolahan material basah:

1. Tanah liat yang diambil langsung dari alam, campukan dengan air dan diaduk hingga menjadi bubur dalam bak cuci yang terbuat dari beton.
2. Selama pengadukan, semua kotoran seperti akar tumbuhan, pasir dan kerikil dipisahkan.
3. Lumpur Tanah liat yang bersih dipindahkan bejana, dengan cara di pompa sembari jumlah kadar airnya di kurangi.
4. Batu kapur dari alam di tumbuk halus hingga dapat menembus saringan 90 micron. Penggilingan dimulai dari penggilingan kasar yang menggunakan Jaw Crusher, hingga penggilingan halus yang menggunakan Roll Crusher. Kemudian dicampurkan air hingga menjadi lumpur batu kapur.

Proses pembakaran, setelah lumpur tanah liat dan lumpur kapur jadi. Masukkan kedalam silo atau tungku bakar yang memiliki ukuran 150 M. tungku ini memiliki ruang-ruang sebagai berikut:

- ruang paling ujung merupakan ruang yang dinding-dinding ruangnya dilengkapi dengan sirip-sirip baja tipis untuk memperluas penguapan.

- Ruang berikutnya, dinding tungku terdapat rantai baja. Dengan adanya ratai ini penguapan air semakin sempurna, serta gumpalan-gumpalan lumpur kering pecah

- Bahan yang telah diolah tadi kemudian dipanaskan lagi dengan suhu 500-900oC. Pada tahap ini akan terjadi penguapan air kristal yang terdapat dalam partikel bahan olahan tadi, dan juga CO2, SO3 dan senyawa lainya ikut menguap sedangkan bahan organik lainya akan terbakar

- Kemudian bahan tesebut akan mengalir keruang pembakaran yang suhunya berkisar 900-1350 oC

Dalam ruang pembakaran (Firing zone) senyawa oksida mulai beraksi satu dengan yang lain, untuk membentuk senyawa semen (C3S, C2S, C3A, dan C4AF), kemudian menggumpal dalam keadaan setengah meleleh yang disebut klinker.

Klinker yang panas, kemudian dimasukkan keruangan pendingin dengan suhu biasa agar klinker cepat dingin. Keluar dari ruang pendingin biasanya suhu klinker ± 30 oC kemudian agar cukup dingin.

Penggilingan klinker biasanya merupakan siklus yang tertutup (Close circuit). Hasil gilingan diayak 170 mesh (90 micron), yang masih kasar masuk kembali ke ball mill dan semen bubuk dapat dipasarkan.

Proses kering meliputi material yang telah kering atau yang basah dikeringkan terlebih dahulu sebelum di proses.

Proses pengolahan material kering:

Proses pengolahan material menjadi bahan mentah hampir sama dengan pengolahan proses basah, namun yang berbeda adalah semua bahan mentah dikeringkan terlebih dahulu hingga benar-benar kering. Selain itu pencampuran kapur dan tanah liat juga dalam keadaan kering, setelah bahan mentah jadi, proses pembakaran hingga pemasaran sama saja dengan proses basah.

TIPE-TIPE SEMEN

1. A. Tipe-tipe semen, dan penggunaan sesuai tipenya

* Tipe I, merupakan semen yang digunakan untuk bangunan umum tanpa syarat khusus. Nama lain dari semen ini adalah Ordinary Portland Cement (OPC).
* Tipe II, dapat digunakan bila ada gangguan dari sulfat yang sedang dan panas hidrasi sedang.
* Tipe III, semen ini memiliki proses pengerasan yang cepat. Biasanya digunakan untuk pembangunan yang penyelesaiannya cepat atau di batasi waktu.
* Tipe IV, semen yang panas hidrasinya rendah.
* Tipe V, semen ini digunakan apabila pembangunan ada di sekitar tepian pantai atau bangunan tersebut memiliki gangguan sulfat yang tinggi.

1. B. Jenis-jenis semen

i. Semen Portland pozolan

Semen ini merupakan hasil dari: semen Portland di tambah dengan pozolan, yang mana pozolan yang di tambahkan bekrisar 10-30%. Nama lain dari semen ini Traz Portland Cement, semen ini sering dipakai di Negara Jerman. Tras yang di gunakan adalah Tras Andernach. Tras adalah batuan gunung api yang telah mengalami perubahan
komposisi kimia yang disebabkan oleh pelapukan dan pengaruh kondisi air bawah
tanah. Bahan galian ini berwarna putih kekuningan hingga putih kecoklatan,
kompak dan padu dan agak sulit digali dengan alat sederhana. Tras memiliki
bahan penyusun kimia yaitu SiO2(62,85%), Al2O3(18,18%), Fe2O3(4,99%),
K2O(3,45%), Na2O(1,86%), MnO(0,06%). (Hijhoff,1970) Oksida-oksida tersebut
dapat bereaksi dengan kapur bebas yang dilepaskan semen ketika bereaksi dengan
air.
Dalam ilmu bahan bangunan ada beberapa jenis bahan yang dikategorikan
sebagai bahan ikat dalam adukan, di antaranya adalah semen, kapur, pozolan dan
beberapa bahan ikat lainnya.Tras merupakan salah satu pozolan yang pemanfaatannya belum secara optimal.

ii. Semen putih

Campuran semen ini memiliki kadar Fe2O3-nya rendah, karna warna abu-abu pada semen portland disebabkan oleh serbuk besi. Semen ini dibuat dari batu kapur dan tanah liat putih (kaolin), kadar Fe2O3 tidak boleh lebih dari 1,5%. Pengolahannya sama dengan pengolahan semen biasa, tapi tidak menggunakan alat-alat yang mengandung besi.

iii Mansory cement

Semen ini berfungsi untuk pasangan tembok dan plasteran. Semen ini dibuat dari semen Portland dan di campur dengan hasil gilingan batu kapur. Namun semen tipe I lebih baik dibandingkan dengan semen ini.

iv Semen sumur minyak

Berfungsi untuk menyemen pipa pengeboran minyak, melapisi bocoran air atau gas. Semen ini di pakai dalam bentuk bubur cair yang di pompakan dengan tekanan tinggi yang mencapai 1200 kg/cm2 dengan suhu rata-rata lebih dari 170o dalam keadaan belum mengeras.

v Hidropobic cement

Klinker yagn di giling dengan tambahan asam oleat atau asam streat.

vi Waterproofed cement

Semen yang digunakan di Inggris yang terbuat dari semen Portland yang ditambahkan calsium, aluminium, atau sterat logam lainnya

vii Semen alumina

Tebuat dari batu kapur dicampur dengan bauksit dengan kadar campuran 60-70% (batu kapur), dan 30-40% (bauksit). Campuran dibakar pada suhu 1600oc dalam tungku listrik sampai cair, kemudian hasil pembakaran tadi di tambahkan gipsum.

1. C. Sifat-sifat semen

i. Sifat-sifat kimia

Harus membentuk senyawa-senyawa semen, yaitu C3S, C2S (sebagai senyawa utama), C3A, dan C4AF.

- Kadar MgO dalam semen di batasi 5%

- Kadar SO3 dibatasi menurut jenisnya dan tegantung kadar kandungan C2A didalam semen

- Kadar C3S hanya diperuntukkan bagi semen tipe IV yang merupakan panas hidrasi rendah

- Kadar C2S juga diperuntukkan bagi semen tipe IV, kandungannya berkisar 40%

- Kadar C2A, tidak memiliki sifat semen, malah memiliki sifat negative dengan senyawa SO3

- Kadar C4AF dan C2F kadar kedua unsure ini khususnya terdapat pada tipe V.

- Kadar alkali didalam semen sebagai Na2O dan K2O

ii. Sifat fisis
1. Kehalusan butir semen
2. Berat jenis semen (3,10-3,30)
3. Waktu pngikatan semen ± 1 jam setelah di beri air
4. Pengikat semu (false setting time)
5. Kekuatan semen
6. Kekekalan bentuk

Rabu, 09 Februari 2011

Harga Minyak Tembus di Atas 103 Dollar

London: Minyak mentah Brent mengalami kenaikan tinggi dalam 28 bulan, mencapai di atas 103 dolar AS, Kamis (3/2). Kenaikan harga dipantik oleh krisis politik di Mesir. Krisis memunculkan kekhawatiran baru atas pasokan energi di negara-negara kawasan Timur Tengah yang kaya minyak.

Minyak mentah jenis Brent North Sea pengiriman Maret naik ke posisi 103,37 dolar per barel, tingkat tertinggi sejak 26 September 2008. Harga terakhir berada pada kisaran 102,27 dolar pada perdagangan London, turun tujuh sen dibanding penutupan Rabu lalu. Kontrak utama New York untuk minyak jenis Light Sweet untuk penyerahan Maret turun 22 sen menjadi 90,64 dolar per barel.

"Ketidakpastian yang masih terus berlanjut di Mesir telah mendorong harga minyak mentah Brent mencapai 103 dolar per barel semalam, tingkat tertinggi sejak September 2008," kata analis Kommerzbank, Carsten Fritsch. Pasar minyak resah karena kekhawatiran krisis Mesir dapat menjalar ke negara-negara lain terutama di kawasan Timur Tengah yang kaya minyak.

Meski Mesir, bukan negara produsen minyak utama. Namun, di negara itu terletak Terusan Suez, yang mengangkut sekitar 2,4 juta barel per hari minyak mentah, setara dengan produksi minyak mentah Irak.

Senin, 17 Januari 2011

Harga Batubara 2011 Diprediksi Capai USD 115/MT



Jakarta – TAMBANG. Memasuki 2011, harga batubara nampaknya sulit untuk dibendung menembus level USD 100/MT (metrikton). Mega Capital Indonesia bahkan memprediksi harga ”emas hitam” itu bakal naik 16%, mencapai level USD 115/MT pada 2011.

Sejumlah faktor diantaranya curah hujan yang masih cenderung abnormal, diikuti demand yang akan terus menguat, diyakini akan membuat prospek batubara bakal semakin kinclong di Tahun Kelinci.

Seperti diungkapkan Head of Research Mega Capital Indonesia, Danny Eugene, Jumat, 7 Januari 2011, setelah mencatatkan kenaikan sebesar 39% pada 2010 lalu, tahun ini ia memproyeksikan harga batubara kembali mencatatkan kenaikan sebesar 16%.

”Harga rata-rata batubara untuk 2011 kami perkirakan mencapai level USD 115/MT, lebih tinggi dibanding harga rata-rata 2010 yang mencapai USD 98.97/MT,” ujarnya.

Selama lima tahun terakhir, lanjut Danny, dari 2005-2010 harga rata-rata batubara mengalami kenaikan sebesar CAGR 15,7%. Yakni dari USD 47,67/MT pada 2005 ke level USD 98,97/MT.

”Untuk lima tahun mendatang, dari 2010-2015, kami proyeksikan harga rata rata batubara akan mencapai USD 126/MT atau naik dengan CAGR sebesar 5%,” tambahnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala mengatakan, pada 2011 demand batubara akan semakin menguat. Pemburu batubara Indonesia bukan hanya datang dari Asia, tetapi juga Eropa.

Namun, ujarnya, harus diwaspadai adanya sejumlah keterlambatan produksi, akibat curah hujan yang cenderung abnormal, yang akan berlanjut hingga tahun ini.

”Produsen batubara harus menambah peralatan untuk mengeringkan tambang, dan memaksimalkan produksi disaat kering (tidak hujan, red),” jelasnya.

Kondisi demand yang terus strong dan pelambatan produksi, serta penambahan biaya yang harus dilakukan kalangan produsen, menjadi faktor pengerek harga batubara di 2011.

Sejauh ini, konsumen terbesar batubara Indonesia masih dipegang Jepang di posisi pertama, dan India sudah berada di posisi kedua menggeser Korea Selatan.

Jumat, 14 Januari 2011

Classification of coal




Categories of coal
Coal classification
Coals come into various categories depending on where they were produced. Their colors range from light brown to dark black.

They can be classified into two main categories: High Grade and Low Grade coals.This refers to the Energy content of the coal, which is the amount of energy that will be released by the combustion of 1 kg of it.

* High Grade coals may release 6 000 to 9 000 kcal / kg, while low grade coals will release between 1 000 to 6 000 kcal / kg.
* High grade coals are darker, contain more carbon, less water and less minerals (cinders) than low grade coals.


Among High Grade coals, we can find :

* Graphite (pure carbon, used to make pencils, or as a lubricant)

* Anthracite (black and shiny, used for domestic heating)

* Bituminous coals (black or dark brown, used for power generation and in the steel manufacturing process, after being converted into coke)

And low grade coals are classified as :

* Sub-bituminous coals (dark brown, used mostly in power plants, and by various industries such as Chemistry, Cement production etc...)

* Lignite (brown, used in power plants)

* Peat (brown, similar to compact mud, used for domestic heating)


Coal is a readily combustible rock containing more than 50 percent by weight of carbonaceous material formed from compaction and indurations of variously altered plant remains similar to those in peat.

After a considerable amount of time, heat, and burial pressure, it is metamorphosed from peat to lignite. Lignite is considered to be "immature" coal at this stage of development because it is still somewhat light in color and it remains soft.

* Lignite increases in maturity by becoming darker and harder and is then classified as sub-bituminous coal. After a continuous process of burial and alteration, chemical and physical changes occur until the coal is classified as bituminous - dark and hard coal.
* Bituminous coal ignites easily and burns long with a relatively long flame. If improperly fired bituminous coal is characterized with excess smoke and soot.
* Anthracite coal is the last classification, the ultimate maturation. Anthracite coal is very hard and shiny.

1) Volatile matter - dry mineral matter free basis. In coal, those products, exclusive of moisture, given off as gas and vapor determined analytically.

Anthracite coal creates a steady and clean flame and is preferred for domestic heating. Furthermore it burn longer with more heat than the other types.
Typical Sulfur Content in Coal

* Anthracite Coal : 0.6 - 0.77 weight %
* Bituminous Coal : 0.7 - 4.0 weight %
* Lignite Coal : 0.4 weight %

Typical Moisture Content in Coal

* Anthracite Coal : 2.8 - 16.3 weight %
* Bituminous Coal : 2.2 - 15.9 weight %
* Lignite Coal : 39 weight %

Typical Fixed Carbon Content in Coal

* Anthracite Coal : 80.5 - 85.7 weight %
* Bituminous Coal : 44.9-78.2 weight %
* Lignite Coal : 31.4 weight %

Typical Bulk Density of Coal

* Anthracite Coal : 50 - 58 (lb/ft3), 800 - 929 (kg/m3)
* Bituminous Coal : 42 - 57 (lb/ft3), 673 - 913 (kg/m3)
* Lignite Coal : 40 - 54 (lb/ft3), 641 - 865 (kg/m3)

Typical Ash Content in Coal

* Anthracite Coal : 9.7 - 20.2 weight %
* Bituminous Coal : 3.3-11.7 weight %
* Lignite Coal : 4.2 weight %

Coal Quality :

The amount of impurities (ash and trace elements) in the coal determines its GRADE:
1. Ash Ash is the unburnable part of coal. It is most often sand and clay blown into the swamp or brought in by river or tides. Most commercial coals range from 3% to 9% ash. A train car carrying 100 tons of coal may be actually carrying 91 tons of burnable coal. With nine tons of clay and sand along for the ride. After burning, the ash is either removed from the combustion chamber or it goes up the smokestacks as fly ash. With 100 tons of coal lasting only 20 minutes in a power plant, the amount of ash accumulating is considerable.

2. Trace Elements A number of elements can affect either the combustion process or add to possible atmospheric pollution through emissions from the smoke stacks of power plants including sodium, sulfur, phosphorous, chlorides, nitrates, sulfates, and arsenic.

Sodium in the coal causes ash to precipitate on the boilers reducing the efficiency of the boiler and raising the cost of generating electricity. In one test, a lignite with 8% sodium fouled the boiler such that it had to be shut down for cleaning after only three days.

Sulfur in the coal is released as sulfur dioxide (S02) upon burning. If it is not scrubbed out of the emissions, it will combine with moisture in the air producing sulfuric acid (H2SO4) which makes up some 60 % of acid rain. (The other 40 % is nitric acid from automobiles and trucks.) Coals range from 0.5% to 8% or more sulfur.

Phosphorus in coal causes slagging in boilers reducing their efficiency. In addition, steel made with a phosphorous rich coal as a heat source tends to be brittle.

Chlorides, Nitrates, and Sulfates cause corrosion in the boilers.

Arsenic is present in most coals at the ppb (parts per billion) level. The Appalachian Basin Coal Field averages 13.3 ppb, while the Rocky Mountain coal is 1.8 ppb.

PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menargetkan produksi batubara mencapai 113 MT pada 2013



PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menargetkan produksi batubara mencapai 113 MT pada 2013.

Hal itu disampaikan manajemen BUMI dalam materi paparan publik investor summit 2010 yang disampaikan dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin (8/11). BUMI memiliki cadangan batu bara sebesar 2,9 miliar MT dan sumber daya batu bara sebesar 7,8 bilion metrik ton di luar cadangan. Saat ini lokasi untuk pasar batu bara terutama di Asia, Eropa dan Amerika Selatan.

Perseroan juga berencana untuk ekspansi produksi batu bara di KPC dan Arutmin mencapai 100 mtpa. Modal yang diperoleh US$1,1 juta dengan pencapaian pada triwulan empat 2012. Hasil yang diharapkan dari ekpansi ini peningkatan Ebitda rata-rata sebesar US$800 juta per tahun. Sumber pendanaan berasal dari arus kas internal, pembiayaan vendor, dan BOOT pembiayaan.

Selain itu, perseroan juga mengembangkan FBS dan Pendopo mencapai 13 mtpas dengan modal yang diperoleh sebesar US$150 juta dengan pencapaian pada triwulan empat 2012. Peningkatan Ebitda rata-rata sebesar US$100 juta per tahun. Sumber pendanaan berasal dari dana internal BUMI, sekitar US$1 juta yang dicadangkan melalui fasilitas pembayaran kembali yang ditangguhkan dari CIC.

Dalam pengembangan jangka pendek ini, perseroan juga investasi di Recapital untuk pengaturan pemasaran ekslusif pada suatu perusahaan batu bara. Pencapaian dalam waktu dekat dengan hasil yang diharapkan minimum tingkat pengembalian internal (IRR) sebesar 25%. Sumber pendanaan dari obligasi dan berbagai pinjaman bank lainnya.

Manajemen BUMI juga optimis dapat meraih produksi mencapai 64 juta MT pada 2010 meskipun kendati dalam situasi yang penuh tantangan. Selain itu, perseroan juga menargetkan produksi mencapai 31 juta ton pada semester kedua 2010 atau naik sebesar 24%. Sementara penjualan meningkat sebesar 19% dan inventori mencapai level aman sebesar 5 MT di paruh kedua 2010.

Pembiayaan utang perseroan sejak Agustus 2009 hingga saat ini mencapai US$3,175 juta. Sumber utang berasal dari BUMI-CFL (fasilitas CIC) sebesar US$1,900 juta, obligasi konversi sebesar US$375 juta, fasilitas CS sebesar US$300 juta, surat utang yang dijamin sebesar US$300 juta dan obligasi konversi sebesar US$300 juta. Perseroan mengklaim telah mengaplikasikan utang tersebut sebesar US$3,175 juta untuk investasi, akuisisi, pembayaran kembali utang, equity swap, capped call dan modal kerja.

Perseroan juga mengembangkan sektor tambang lainnya seperti seng, timah, tembaga, emas, bijih besi dan coal bed methane untuk meningkatkan portofolio perseroan.

Produksi Batubara Naik , Harga di Pasar Internasional 100 Dollar AS Per Ton




Saat ini kondisi industri pertambangan batu bara sedang bergairah. Hal ini ditandai dengan tingginya permintaan pasar dan melejitnya harga bahan tambang itu di pasar internasional. Kondisi tersebut memicu peningkatan produksi batu bara di Indonesia.

”Produksi batu bara nasional 2010 diperkirakan meningkat 20 juta dibandingkan dengan tahun lalu,” kata Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Bob Kamandanu di sela- sela seminar bertema ”Perkembangan Pertambangan Indonesia 2010” di Jakarta, Senin (24/5).

Berdasarkan catatan APBI, produksi batu bara nasional tahun 2009 sebesar 300 juta ton, termasuk dari pertambangan ilegal atau tidak terdaftar oleh pemerintah.

Angka ini diperoleh dari laporan para anggota asosiasi dan hasil pemantauan di lapangan. ”Dalam setahun, hasil produksi batu bara dari tambang ilegal sekitar 40 ton,” ujarnya.
Selama Januari-Februari 2010 tercatat produksi batu bara telah mencapai 59 juta ton dan sekitar 12 juta ton di antaranya merupakan hasil produksi dari penambangan ilegal atau kuasa pertambangan yang tidak terdaftar di pemerintah pusat.

Pihaknya, ujar Bob, memperkirakan produksi batu bara secara nasional tahun ini mencapai 320 juta ton. Ini berarti ada peningkatan 20 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Adaro, misalnya, produksinya naik 4 juta ton. ”Dari perusahaan-perusahaan batu bara skala besar saja kenaikan produksinya sudah 15 juta,” ujarnya.

Kondisi pasar bagus

Menurut Bob, peningkatan produksi ini didorong kondisi pasar yang sedang bagus. Di China dan India, misalnya, kebutuhan batu bara terus meningkat pesat. ”Batu bara diminati di mana-mana. Kami ingin memenuhi permintaan ekspor, jadi eksplorasi dan eksploitasi jalan terus,” ujarnya.

Tingginya permintaan itu memicu melejitnya harga batu bara. Saat ini harga batu bara di pasar internasional sekitar 100 dollar AS per ton. Padahal, tahun lalu harga batu bara hanya mencapai 70 dollar AS per ton. ”Tentu harga ini dipengaruhi suplai batu bara. Jika pasokan melimpah, harga akan turun,” ujar Bob.

Dengan kenaikan produksi itu, kewajiban pasok dalam negeri tahun ini diperkirakan mencapai 90 juta ton atau 30 persen dari total produksi batu bara.

Adapun penyerapan pasar domestik 60 juta ton. Jadi ada kelebihan 30 juta ton. ”Market sendiri yang berjalan mekanismenya,” katanya.

Sementara itu, Direktur Bina Usaha Pertambangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Aryanto menjelaskan, dalam menetapkan target produksi, pihaknya menghitung sesuai kemampuan produksi perusahaan tambang batu bara skala besar.

”Jadi, domestic market obligation batu bara akan terserap di pasar domestik,” katanya. Namun, bila ada kelebihan pasokan batu bara untuk domestik, kelebihan pasok itu akan diserahkan kepada mekanisme pasar. Jaminan pasokan batu bara untuk domestik diperlukan untuk mendukung kelistrikan dan industri dalam negeri.

Produksi batubara nasional pada akhir September 2010 mencapai 280 juta ton, atau 90% dari perkiraan produksi tahun ini.

Produksi batubara nasional pada akhir September 2010 mencapai 280 juta ton, atau 90% dari perkiraan produksi tahun ini.

Peningkatan produksi ini dipicu oleh melonjaknya permintaan yang menggiring produsen menggenjot produksinya tahun depan. Produksi batubara nasional kemungkinan akan mencapai 340 juta ton pada tahun 2011 dari tahun ini yang diperkirakan sebesar 310 juta ton.

Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Bob Kamandanu. Tahun ini, APBI mematok produksi batubara nasional sebesar 320 juta ton.

Produsen batubara nasional memang terus menggemukkan produksi batubaranya untuk memenuhi permintaan lokal maupun domestik. India akan melampaui Jepang sebagai negara pengimpor batubara terbesar di dunia dari Indonesia.

Tahun 2011 mendatang, Indonesia bakal menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia setelah Australia. Produksi tahun ini kemungkinan akan lebih rendah dari target semula karena tingginya curah hujan dan kuatnya permintaan batubara India. Hal ini berpotensi menggiring harga batubara menembus US$ 102 per ton pada akhir tahun ini dan rata-rata menyentuh US$ 90-100 per ton pada tahun 2011.

Produksi Batubara Nasional 2010 bisa capai 320 juta ton



JAKARTA--Produksi batu bara nasional pada 2010 ini diperkirakan mencapai 320 juta ton. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Bob Kamandanu, menyatakan tahun ini produksi batu bara nasional bisa mengalami kenaikan sekitar 6,67 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 300 juta ton.

Menurut Bob, kenaikan produksi ini seiring dengan meningkatnya permintaan batu bara dari Cina dan India. ''Jadi saat ini bisnis batu bara sedang bullish sehingga batu bara diminati di mana-mana, kekuatan paling dahsyat dari India dan Cina,'' katanya di sela-sela acara 'Mining Updates 2010' di Jakarta, Senin (24/5).

Menurut Bob, dari Cina saja permintaan batu bara mencapai 20 juta ton. Sementara itu, untuk produksi batu bara nasional sendiri, katanya, hingga Februari lalu sudah mencapai sekitar 59 juta ton. Jumlah sebanyak itu berasal dari PKP2B generasi 1, 2, dan 3 serta seluruh kuasa pertambangan (KP) yang terdaftar dan tidak terdaftar di pemerintah.

Dari jumlah tersebut, lanjut dia, sekitar 12,9 juta ton pada bulan Februari berasal dari KP-KP yang tidak terdaftar tersebut. ''Dalam setahun produksi KP ilegal itu bisa mencapai sekitar 40 juta ton,'' ungkapnya.

Bob menjelaskan, dari 320 juta ton produksi batu bara tahun ini, 30 persennya akan dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri. Namun, kata dia, biasanya dari DMO tersebut, konsumsi dalam negeri hanya mampu menyerapnya sekitar 60 juta ton sehingga ada sisa sekitar 30 juta ton.

Senin, 10 Januari 2011

Harga Semen Indonesia Paling Mahal

Jakarta - Data yang berhasil dikumpulkan KPPU menemukan harga semen di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan harga semen beberapa negara mana pun.

"Harga semen di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan beberapa negara di dunia. Padahal komponen harga semen sangat diperlukan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia," kata Direktur Komunikasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ahmad Junaidi di Jakarta.

Ahmad mencontohkan, harga Semen di Indonesia rata masih US$91 per ton. Sementara harga semen di Malaysia lebih murah sekitar US$75 per ton. Harga Semen di China rata-rata US$75 per ton.

Sementara itu, harga Semen di Pakistas juga lebih rendah sekitar US$89 per ton, dan India masih US$45 per ton.

Rabu, 05 Januari 2011

Pabrik Semen Lafarge Berproduksi Maret 2011

JAKARTA- Produsen semen asal Prancis, PT Lafarge Cement Indonesia, memastikan produksi perdana pabrik semen di Lhok Nga, Nanggroe Aceh Darussalam, bisa dimulai Maret 2011. Pabrik tersebut berkapasitas produksi semen 1,6 juta ton/tahun.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, setelah menginvestasikan dana sebesar USS 300 juta untuk membangun pabrik semen di Lhok Nga, Lafarge kini bersiap memproduksi semen. "Lafarge akan memulai produksinya Maret 2011 dan akan diresmikan Presiden SBY," ujar dia di Jakarta, Senin (29/11).
Menurut Hidayat, Lafarge akan memperkerjakan tenaga kerja penduduk lokal hingga 90%. Hal tersebut juga menunjukkan bah-wa kepercayaan investor asing di Aceh telah pulih pascatsunami tahun 2004 dan diharapkan memacu investor lain masuk ke Indonesia.
Lafarge kini menguasai sekitar 99% saham PT Semen Andalas Indonesia. Perusahaan ini mulai membangun kembali pabrik semen dan pembangkit listrik sebagai pendukungnya di Lhok Nga awal 2007,yang sempat hancur terkena tsunami. Semula, pabrik semen tersebut diharapkan bisa selesai dibangun semester II- 2008.
Lafarge melalui PT Semen Andalas Indonesia juga telah mengoperasikan terminal pengepakan semen dan pelabuhan di Lhok Nga. Terminal baru ini dilengkapi dengan dua mesin pengepakan system rotaryyang dapat memproduksi hingga 3 ribu ton semen/hari.
Sementara itu, lanjut Hidayat terkait rencana produsen semen asal Thailand, Siam Cement Group, masuk berinvestasi di Indonesia belum ada kepastian. "Manajemennya masih berhati-hati menentukan, termasuk memperhitungkan peluang dan kompetitornya di Indonesia," tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Urip Timuryono berpendapat, rencana Siam Cement berinvestasi di Tanah Air harus memperhitungkan serapan di dalam negeri. Pemerintah juga diyakini tidak akan suka jika Siam Cement pada akhirnya hanya membangun pabrik berkapasitas produksi kecil dan kemudian mengimpor semen dari pabriknya di Thailand ke Indonesia.
"Sementara itu, industri yang telah eksis juga sudah mampu memenuhi kebutuhan1 konsumsi semen domestik," kata dia.
Kapasitas dan Ekspor
Urip menambahkan, rencana produksi Lafarge akan menambah kapasitas terpasang industri semen nasional tahun 2011 menjadi sekitar 46 juta ton. "Konsumsi semen tahun 2011 diperkirakan naik 6-10% menjadi 42-46 jt ton dari 2010 mencapai 40 juta ton," katanya.
Sementara itu, lanjut dia, tahun 2012-2013, kapasitas terpasang industri semen nasional akan bertambah lagi 6,8 juta ton. Hal ini menyusul adanya investasi baru tiga produsen semen, yakni PT Semen Gresik Indonesia Tbk, PT Semen Tonasa, dan PT Holcim Indonesia Tbk.
Menurut dia, produsen semen nasional saat ini terus aktif ekspansi guna menambah kapasitas walaupun tidak bisa memacu produksi sampai 100% dari kapasitas yang ada. "Utilisasi biasanya maksimal 90%, sedangkan sisanya untuk mengantisipasi jika ada permintaan tambahan," jelas Urip, (eme)

Minggu, 02 Januari 2011

Cuaca Ganggu Bisnis Semen

Jakarta Kompas - Bukan hanya sektor pertanian yang harus menghadapi dan mengantisipasi perubahan iklim ekstrem. Nyatanya, industri semen pun menghadapi persoalan dengan cuaca dan telah terbukti mengganggu produksi dan penjualan semen.

Persoalan cuaca yang dihadapi industri semen itu dikemukakan secara terpisah oleh Direktur Utama PT Semen Gresik Dwi Soetjipto dan Direktur Pemasaran PT Semen Bosowa Maros Subhan Aksa, di Jakarta, Minggu (2/1).

”Pertumbuhan penjualan selama semester kedua 2010 kurang menggembirakan karena cuaca dan permasalahan-permasalahan yang masih ada berkaitan dengan pembangunan proyek-proyek infrastruktur,” tutur Dwi Soetjipto.

Subhan Aksa menjelaskan, Bosowa Semen Maros di Sulawesi Selatan juga menghadapi persoalan cuaca ini. Sebenarnya, waktu yang tepat untuk mengoptimalkan produksi pabrik adalah saat memasuki musim kemarau karena penjualan cukup bagus. Itu karena proyek-proyek infrastruktur dan proyek-proyek properti bergulir.

”Persoalan kami, listrik tidak mencukupi. Kalau musim kemarau, PLN yang sebagian pembangkitnya menggunakan tenaga air menghadapi masalah ketidakcukupan debit air waduk untuk pembangkitan. Sebaliknya, musim hujan merupakan waktu yang baik untuk menggenjot produksi karena listrik melimpah memenuhi kebutuhan. Persoalannya, penjualan tertahan karena proyek berjalan lambat atau terhenti karena cuaca,” tuturnya.

Meski demikian, baik Dwi maupun Subhan optimistis permintaan semen tahun ini bakal membaik karena berjalannya proyek infrastruktur. Oleh karena itu, manajemen Semen Gresik dan Semen Bosowa tetap akan meningkatkan produksinya.

”Kami yakin tahun 2011 permintaan masih baik dengan perkiraan pertumbuhan 6-7 persen,” kata Dwi.

Tahun 2010, PT Semen Gresik memproduksi 8,86 juta ton semen. Dua anak usahanya, yakni PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa, masing-masing memproduksi 5,68 juta ton semen dan 3,65 juta ton sehingga keseluruhan produksi Semen Gresik Grup mencapai 18,19 juta ton.

Sementara penjualan PT Semen Gresik tahun lalu mencapai 9 juta ton, Semen Padang 5,4 juta ton, dan Semen Tonasa 3,6 juta ton sehingga total penjualan grup ini mencapai 18 juta ton.

Tahun 2011, menurut Dwi, pihaknya memprogramkan peningkatan produksi sekitar 9 persen, meningkatkan efisiensi untuk mengatasi ancaman kenaikan harga bahan bakar dan transportasi, menyelesikan pembangunan pabrik semen baru di Tuban dan Tonasa, serta melanjutkan konsolidasi korporasi.

Bosowa

Menurut Subhan, produksi Semen Bosowa Maros mencapai 100,59 persen terhadap target yang ditetapkan. Produksi semen Bosowa Maros mencapai 1,81 juta ton, sedangkan pengeluaran semen dari pabrik mencapai 1,78 juta ton.

”Distribusi tidak setinggi produksi karena kendala hujan yang agak menghambat dan penyerapan dari pembangunan proyek pemerintah yang lemah berefek ke permintaan semen,” katanya. Bosowa Semen juga memiliki unit produksi di Batam dengan kapasitas sekitar 500.000 ton semen.

Pada tahun ini, pihaknya akan melakukan efisiensi produksi dan menargetkan dua juta ton produksi semen. Sementara unit produksi di Batam akan ditingkatkan menjadi 700.000-800.000 ton. ”Jadi, target total kedua pabrik 2,7-2,8 juta ton untuk 2011. Peningkatan produksi hanya dengan penambahan material campuran yang memperbaiki kualitas, jadi tidak terlalu besar investasinya,” kata dia. (DIS)